Menjadi Perantara Ta’aruf
Siapa saja bisa menjadi perantara, misalnya orangtua, teman, saudara, ustadz, dan sebagainya. Kita pun bisa menjadi perantara, asalkan kita tahu dengan jelas siapa yang akan diperantarai. Bagi yang ingin menjadi perantara yang baik, setidaknya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu :
1. Memberi Informasi Obyektif
Memberi keterangan yang informatif sehingga dapat bermanfaat bagi calon pengantin maupun keluarganya untuk menilai calon pasangannya. Adakalanya informasi yang diberikan malah meimbulkan persepsi/penilaian yang salah tentang calonnya. Tidak informatifnya keterangan yang diberikan, karena kurangnya deskripsi/penggambaran mengenai informasi yang abstrak.
2. Tidak Persuasif
Sebaiknya tidak memberikan informasi yang persuasif/membujuk. Mengapa? Pertama, informasi persuasif dapat memunculkan harapan yang terlalu tinggi mengenai calonnya. Ini menjadikannya kurang peka terhadap kebaikan-kebaikan pasangannya kelak setelah menikah, karena secara tak sadar selalu membandingkan dengan harapan semula sebelum menikah. Ia lebih peka terhadap kekurangan pasangan, meskipun sedikit. Keadaan ini mudah menimbulkan kekecewaan terhadap pasangannya. Padahal, semakin tidak mensyukuri kebaikan pasangannya, semakin besar penderitaan psikisnya.
Kedua, informasi persuasif mengarahkan harapan orang tentang keindahan-keindahan yang akan diberikan pasangan hidupnya. Bukan apa yang kelak perlu ia lakukan pada pasangannya. Ia menjadikannya mudah merasa kurang terhadap apa yang telah diberikan oleh pasangannya.
3. Menberikan Informasi Menurut Apa yang Diketahui
Keutamaan perantara atau sumber informasi, insya Allah terletak pada usaha untuk memberikan keterangan yang tepat, bukan pada banyak informasi yang disampaikan. Sebisa mungkin hindari informasi yang bersifat qila wa qala (katanya/konon). Informasi mengenai hal-hal fisik, seharusnya ia ketahui dari melihat langsung.
4. Lebih Melihat pada Usaha
Seorang Perantara hendaklah melihat pada kemaslahatan dalam mengusahakan, bukan berorientasi pada keberhasilan mempertemukan. Kegagalan mempertemukan insya Allah bukan keburukan, jika kita mengusahakan pada kemaslahatan. Kesudahan bagi keduanya insya Allah baik.
5. Moderat dan Tidak Menyudutkan
Menentukan pilihan untuk masalah yang menyangkut kehidupan dunia dan akhirat, bukan perkara mudah. Butuh kejernihan hati agar tidak terombang-ambing oleh desakan hawa nafsu jahat, agar hati semakin bersih dan lurus ketika mengambil keputusan. Seprang perantara hendaklah bersikap netral. Kecendrungan hati barangkali sulit dihapuskan, namun tentu akan lebih selamat jika ia memilih di tengah-tengah dalam ucapan. Kadang disadari atau tidak perantara cenderung mengarahkan pikiran orang yang diperantarainya dan cenderung negatif yang memojokkan sehingga orang yang diperantarai merasa tertekan secara emosional. Padahal pada saat-saat seperti ini orang yang hendak menikah butuh kejernihan hati dan ketenangan agar lebih dekat kepada tawakkal dan ridha Allah Taala.
6. Memotivasi Jika Mampu
Jika orang yang diperantarai masih ragu, motivasi bisa membuatnya yakin dan mantap untuk segera melangkah ke jenjang pernikahan. Perantara harus berhati-hati dalam memberikan motivasi (targhib). Motivasi yang diberikan harus dapat menumbuhkan keyakinan akan pertolongan Allah. Jika motivasi lebih menonjolkan pada aspek diri calon yang mungkin menjadikannya lebih terpengaruh, ini kurang baik, karena rawan terhadap pengelolaan kesan (impresion management). Sikap ini mendekati manipulasi informasi, yang akan menimbulkan kekecewaan di kemudian hari.
Itulah mungkin hal hal yang sebaiknya dilakukan oleh mereka yang ingin jadi perantara. Bagaimana pun juga, sebagai perantara, kita tidak boleh memaksakan kehendak dan harus tetap menyerahkan hasil akhir kepada Allah SWT.
Referensi : Kupinang Engkau dengan Hamdalah, M. Faudzil Adhim.
http://mtks.kotasantri.com/?mtks=artikel&mode=detil&artikel=Pelangi/2202.html