EYANG


Email This Post

Ditulis Oleh Ahmad Munjid

Cerita pendek ini merupakan cerpen perdana IMSA. Menurut Akh Ahmad Munjid, cerpen ini dibuat sepuluh tahun yang lalu, dan sudah dimuat di suatu harian. Atas perkenan si pengarang, cerpen ini dimuat kembali untuk dinikmati warga IMSA dan siapa saja yang berkunjung ke website ini. Harapannya, semoga cerpen perdana ini mampu menggugah semangat mengarang warga IMSA….. (Dep-DIP)

——————————————————————————————-

Eyang
(Ahmad Munjid)

Matahari menatap langsung perkampungan Doplang. Siang diam, meregang nafas. Angin beristirah dan hanya sesekali bergerak mempermainkan ekornya di pucuk-pucuk pepohonan. Semua hening, seakan turut menemani penantian Eyang yang tengah teronggok sendirian di rumah pamanku ini. Tubuhnya yang renta terlipat diantara tumpukan bental dan kesunyian kamar.

Pandanganku berjingkat, menelusuri ruangan. Bau asing yang sejak aku masuk menyergapku masih terus mengitari perasaanku dan memberat pada bungkusan di tanganku, sementara pikiranku makin penuh mengisi kamar yang tidak seberapa luas.

“Eyang…..,” suaraku bergetar.

“Ini saya, Eyang…..” kusentuh tubuh yang masih menelungkup di atas tumpukan bantal itu. Perlahan ia bergerak, membetulkan untaian tasbih di tangannya. Kemudian suara dzikirnya menyembul sekejap dan kembali diam.

“Eyang…..,” aku terduduk disamping tubuh yang kering itu dan kubiarkan bungkusan di tanganku tergeletak begitu saja di lantai. Kudekatkan bibirku hingga nyaris menempel di telinganya.

“Eyang… Ini saya, Munjid.”

“Ehhh… Allah. La haula wala quwwata illa billah. Siapa ini?” ia mengangkat tubuhnya dengan pandangan mencari.

Kugapai telapak tangannya sembari kusebut namaku sekali lagi. Kepala perempuan itu tiba-tiba mendongak terkejut. Matanya menatap ke atas seperti sedang mencari sesuatu titik pada garis batas yang sangat jauh. “Siapa?”

“Saya, Munjid, Eyang.”

“Munjid!” direnggutnya tanganku kuat-kuat.

“Betul, Eyang,” aku kian mendekat dengan pikiran yang kemrungsung.

“Oalaah, cucuku….” Ia merangkul tubuhku yang kini mendadak ringan seperti kapas.

“Kamu sudah lupa Eyang, ya? Kamu sudah lupa orang yang dulu paling mengharap kelahiranmu di dunia ini, cucuku?” suaranya merintih, merangkak menaiki tenggorokannya yang kering. Diguncang-guncangnya tubuhku keras-keras.

“Mboten, Eyang. Sama sekali tidak,” kucium pipinya. Lama tubuhku direngkuhnya. Diraba-rabanya aku, dari ubun-ubun hingga ke punggung, seakan ia tengah memeriksa pusaka yang baru ditemukannya kembali setelah hilang berpuluh-puluh tahun. Tiba-tiba kurasakan diriku surut, kembali menjadi anak kecil yang mendekam tenteram dalam pelukannya.

“Kudengar kamu sudah menjadi orang sekarang?”

Aku terdiam dengan ganjalan yang makin keras menyumbat tenggorokan.

“Syukurlah. Aku percaya, cucuku, anak Kiai Sajadi bakal bisa angon, menjaga diri dalam hidup. Ayahmu dulu, orang yang dalam ilmunya, orang yang arif. Orang yang bisa menjadi dirinya sendiri dan membahagiakan sanak keluarga dengan caranya, karena dia tabah menghadapi kemiskinan dan penderitaan. Dia sangat menghormati orang tua. Selalu menjaga baik silaturrahmi. Eyang, dan Eyang kakung, juga kakek dan nenekmu dulu selalu merasa dekat dengannya, karena kepribadiannya yang luhur. Orang-orang pun sangat menghormatinya. Sayang dia mati muda. Atau, mungkin Allah terlalu sayang padanya. Mungkin memang sebaiknya orang yang berbudi pekerti sehalus dia tidak terlalu lama bergelimang dalam kehidupan dunia yang nista ini. Eyang sungguh sangat rindu dan ingin menyusulnya, menyusul kakek, nenekmu, menyusul ayahmu. Tapi belum juga Allah memberi izin,” lambat ia bicara sambil terus mengelus-elus.

Kurasakan kehangatan yang menjalar di seluruh persendianku kini mulai membuncah melalui pelupuk mataku. Aku merasa kembali ke masa kecil, mendengar Eyang yang selalu mendongeng sebelum aku tertidur.

“Berkali-kali Eyang wanti-wanti pada ibumu, kalau Munjid pulang, jenguk Eyang, ya?! Lama Eyang menunggu-nunggu saat ini, bisa bertemu kamu dan anak istrimu. Ah, kamu sudah jadi orang sekarang. Eyang turut senang. Kamu juga gagah seperti ayahmu,” tak bosan-bosannya ia memandangiku sembari tangannya terus bergerak mengelus-elus.

“Mana anak istrimu?”

“Maaf, mereka tak bisa ikut, Eyang. Saya sangat terburu-buru kemarin. Tapi Alhamdulillah mereka baik-baik, dan titip salam untuk Eyang,” kujawab di telinganya. Ia manggut-manggut.

“Munjid, Munjid…,” diamatinya lagi tubuhku, “sudah jadi priyayi kamu sekarang. Semoga selamat dunia akhirat ya, cucuku,” suaranya tetap lembut, perlahan, membuat aku harus merundukkan tubuhku, agar dapat menangkap apa yang dikatakannya.

“Sebelum kamu lahir, eyang masih ingat ayah dan ibumu hidup sangat prihatin. Menggarap sawah di pinggir Sungai Citandeuy, kena banjir. Musim paceklik panjang. Kakakmu yang perempuan sakit dan tidak tertolong. Hampir setiap hari ayah ibumu puasa. Mereka hanya berbuka hanya dengan beberapa suap nasi jagung dan sayur jantung pisang atau daun-daun singkong yang dipetik dari pekarangan. Sering ayahmu hanya berbuka dengan segelas air putih, agar ibumu yang tengah mengandung kamu bisa makan cukup. Untunglah mereka rukun dan sabar.

Ayahmu adalah orang yang paling banyak menangis tengah malam, baik ketika hatinya susah, maupun ketika senang. Setiap Eyang berwudlu malam-malam, sering Eyang mendengar ayahmu tengah tenggelam dalam sujud di mihrabnya atau menderas Al Qur’an sampai fajar. Penderitaan lahir telah membuat ayah ibumu matang dalam hidup.
Maka, Eyang sangat berharap ketika itu, semoga nanti akan lahir cucu laki-laki yang mewarisi kebesaran jiwa ayahnya. Dan Eyang sangat bahagia ketika keinginan itu terkabul. Sejak kamu masih kecil, Eyang dan orang tuamu sangat berharap kamu kelak akan menjadi orang yang akan meneruskan perjuangan ayahmu, menjadi ahli agama, berakhlaq mulia, shaleh dan menjadi panutan ummat.

Tapi zaman memang telah bergeser. Kamu lebih suka sekolah daripada mencari ilmu agama di pesantren-pesantren seperti ayahmu. Sekarang kamu telah meniti jalan hidupmu sendiri, seperti yang kamu inginkan. Kamu sudah jadi priyayi, jadi penguasa. Eyang cuma bisa berdoa, semoga kamu jadi penguasa yang baik, yang bisa memegang amanah. Sebab, sering kekuasaan itu menjerumuskan pemegangnya.

Kamu, cucuku, anak Kiai Sajadi, tirulah akhlaq ayahmu, agar kehidupanmu selamat dunia akhirat.”

Aku makin tertunduk dalam. Ada sesuatu yang ikut menetes menyertai air mata di pipiku yang mengalir deras.

“Eyang…..,” ujarku setelah beberapa lama ia terdiam. Suaraku hampir-hampir tenggelam.

“Istri saya menitipkan sedikit oleh-oleh untuk Eyang.” Kubuka bungkusan dan kukeluarkan isinya.

“Jadi apa kamu sekarang?”

“Dirjen, Eyang.”

“Apa itu?”

“Direktur Jenderal, Eyang.”

“Ya, ya. Jenderal juga baik,” kulihat wajahnya datar saja. Aku pun tidak mendapati kebesaranku lagi ketika menyebutkan jabatanku itu. Tidak seperti yang selama ini kurasakan.

“Mungkin pekerjaanmu sekarang begitu banyak menyita waktu. Tapi pesan Eyang, jangan kaulupakan silaturrahmi, supaya kamu tidak terasing dari orang lain dan dari dirimu sendiri. Contohlah ayahmu itu. Banyak silaturrahmi akan membuat manusia tidak kehilangan persaudaraan, yang berarti juga tidak kehilangan kemanusiaannya. Karena setiap orang bagi sesamanya sebetulnya adalah cermin untuk senantiasa bisa melihat siapa dirinya. Kekuasaan sering membuat orang jadi sulit berhubungan dengan sesamanya. Ia memang mengangkatmu dengan derajat, tapi bisa jadi itu sebenarnya merupakan belenggu kebebasanmu sebagai manusia. Kekuasaan juga sering melucuti apa saja dari yang menyandangnya, temasuk kemanusiaannya. Berhati-hatilah kamu sekarang yang sedang memegang amanah.”

Beberapa jenak Eyang diam, menikmati oleh-oleh yang kusodorkan. Sementara kurasakan diriku makin menyusut kecil dan tak tahu apa-apa.

“Oh, ya, ya, ya…..,” tiba-tiba ia mencengkeram pundakku. “Tentu kamu tidak lupa. Mana pesanan Eyang?” Ia memandang kepadaku seakan ingin mendapat kepastian, bahwa kau tidak mengecewakannya.

“Nah, kau memang benar-benar cucuku, anak Kiai Sajadi,” wajahnya berseri-seri menjereng isi bungkusan itu: kain kafan!

Segenap perasaan dalam dadaku teremas-remas melihat betapa mantap Eyangku itu menyongsong kematiannya. Ia menimang-nimang kain berwarna putih itu seperti calon pengantin menerima pakaian srah-srahan dari calon suaminya.

Seolah di seberang ajal itu ia telah melihat kebahagiaan yang segera mengentaskannya dari semua keterikatan yang membelenggunya selama ini. Aku kian terpuruk dalam sudut pikiranku sendiri, melihat betapa diriku yang masih demikian ngeri menghadapi kematian, sekalipun hanya mebayangkannya.

“Terima kasih, cucuku. Mudah-mudahan Tuhan makin menerima ketulusan niat Eyang untuk segera menghadap-Nya, dengan ini,” diciumnya kain kafan itu. “Akhir-akhir ini Eyang sering mimpi ditemui Eyang kakung, kakek dan nenekmu, juga ayahmu. Mudah-mudahan giliran Eyang benar-benar sudah dekat. Eyang berharap bisa menghadapinya bulan Ramadlan nanti, seperti Eyang kakung dan ayahmu dulu. Doakan, ya, cucuku, semoga keinginan Eyang ini diridlai Gusti Allah dan Eyang bisa kembali kepadaNya dengan khusnul khatimah.”

Aku mengangguk. Sungguh aku tidak tahu, bagaimana harus menjawabnya. Pikiran dan perasaanku makin teraduk-aduk.

Dan entah perasaan dan pikiran yang bagaimana yang kemudian terus menyertaiku hingga aku kembali ke Jakarta. Aku seperti baru dimandikan setelah bertahun-tahun berkubang dalam lumpur kotor. Beberapa kali aku bermimpi kembali ke masa kanak-kanakku. Kulihat aku sedang belajar berjalan, dibimbing ayah dan ibuku. Mereka bersorak-sorak ketika aku bertatih-tatih melangkah menggapai tangan Eyang yang terulur. Beberapa kali aku terjatuh. Aku bangun dan berusaha menggapai tangan itu lagi. “Hati-hati melangkah, cucu,” kudengar suara Eyang menasehati. Aku baru hendak melangkah lagi ketika samar-samar kudengar suara lain.

“Mas, mas…” istriku membangunkan aku dari mimpi. “Ada telepon dari adik.”
Aku cepat-cepat bangkit.

Dari seberang sana, kudengar kalimat adikku tersendat-sendat. Ia baru saja mendapat berita dari Doplang. Eyang telah berpulang ke rahmatullah, beberapa menit yang lalu.
Mataku terpejam. Kurasakan tubuhku kembali melayang, dibimbing Eyang yang kini mengenakan pakaian serba putih dari kain yang kubawakan untuknya. Kami menelusuri jalan lurus, menuju suatu tempat yang jauh. Sangat jauh.

Yogyakarta, 1995

*) Ahmad Munjid adalah mahasiswa pascasarjana di Temple University, Philadelphia, PA. Penulis yang alumnus Sastra, UGM dulu aktif di bidang sastra & seni di kampus biru.

http://www.imsa.us/index.php?option=com_content&task=view&id=159&Itemid=50

Dipublikasikan pada: 30/3/2007 | 13 Rabbi al-Awwal 1428 H | Hits:
Email This Post Kirim ke teman | Print | Trackback | del.icio.us | Ke atas