Cinta Yang Tertunda


Email This Post

Written by Hikaru

“Dalam buaian rindu penantian
Ada sejumput asa yang tersisa
Entah mawar atau bunga sakura
Biarkan waktu menjawabnya”

Teman-teman saya di kampus sering bertanya kepada saya “kapan kamu menikah”. Mensikapi pertanyaan ini, saya hanya menjawabnya dengan sebuah senyuman. Biasanya, mereka tidak menanyakannya lagi, strateginya begitu. Kalau tidak, akan saya jawab dengan Bulan Mei, may be tahun ini, may be tahun depan atau mungkin may be tahun depannya lagi…doakan saja.

Kapan saya menikah…?

Entahlah, yang pasti rencana kearah sana tetap ada, tetapi tidak dalam waktu dekat ini. Umur saya sekarang 23 tahun, genapkan 25 tahun lah mengikuti Rasulullah. Semoga.

Saya pernah mendengar komentar dari seorang perempuan muslimah aktivis dakwah kampus. Katanya, laki-laki itu egois, ah masak sih…

Saya kurang begitu tahu, egois itu dalam konteks apa. Yang saya tahu, lelaki mana yang tidak ingin segera melangsungkan pernikahan. Semua ingin segera menikah. Masalahnya adalah tentang kesiapan untuk menikah itu. Banyak yang masih belum siap, maju mundur, tetapi harus diakui pula, banyak yang pemberani walau gaji pas pasan.

Begitulah…

Saya juga begitu, ingin cepat menikah juga. Tapi sepertinya proses kearah sana itu masih berjalan. Saya minta doanya saja agar Allah segera mengabulkan doa-doa saya di setiap penghujung malam.

Mengenai pernikahan, sosok istri nanti, bagi saya tak masalah, entah mawar atau bunga sakura yang barangkali saya belum kenal sebelumnya. Asyik kan, pacaran setelah menikah (katanya sih). Satu hal yang pasti, dia bisa menerima apa adanya tentang diri saya dengan kesederhanaan ini. Yang penting lagi, visi pernikahan kita tidak jauh berbeda dan bertolak belakang, itu saja. Idealnya sih begitu.

Tapi, ya tidak tahu juga bagaimana nantinya, wong saya belum menikah kok…

Oh ya, terus terang, saya bangga kepada seorang laki-laki yang berani menikah walau belum mempunyai penghasilan tetap. Ya, salut sekali saya, apalagi kalau dia adik angkatan saya atau umurnya lebih muda dari saya. Acungan jempol untuk dia.

Yang saya salutkan adalah keberaniannya. Bayangkan, dengan penghasilan yang belum menentu, dia berani, seperti kata Anis Matta “mengambil keputusan besar itu”. Benar-benar salut saya. Barangkali, ada orang yang menganggapnya terlalu tergesa-gesa untuk menikah, nekad dsb. Tapi bagi saya tidak. Saya melihat bagaimana dia begitu percaya atas konsekuensi logis pasca pernikahan nantinya, menghidupi istri dan anaknya kelak dikala dia masih cukup muda. Ya, dia bukan orang nekad, tapi pemberani.

Dalam konteks ini, saya melihat bagaimana pancaran keimanan tumbuh kokoh dalam hatinya, dia begitu percaya bahwa Allah pasti akan menolongnya, salah satunya mengenai rizki yang nantinya pasti didapatkanya. Ya, percaya rizki adalah masalah keimanan, masalah akidah.

Ah, saya jadi teringat tentang kisah teman saya yang menikah muda (saat masih kuliah). Setelah menikah, dia mulai merintis usaha. Dia memilih membuka warung gorengan (bakwan, tempe dan pisang). Bayangkan, seorang mahasiswa membuka warung gorengan. Banyak yang malu kan. Tapi dia tidak. Yang dia pikirkan adalah bekerja dan mendapat rizki yang halal.

Ternyata, warung gorengannya laris manis dan laku. Kadang, diam-diam dalam hati saya hanya tersenyum ketika melihat keduanya begitu mesra memasak bersama untuk para lannganan gorengannya. Ah, kapan ya saya bisa menikah, ups. Astaghfirullah hal adhim. (jangan melamun)

Hem..semoga saja Allah secepatnya menjawan doa-doa saya.

Jujur saja ya. Saya memang pernah menaruh hati kepada seorang perempuan muslimah, dia baik, pintar, pendiam, bijaksana. Setidaknya, itu kesan luar yang selama ini saya tahu. Watak aslinya, tidak tahu saya. Ketika berpapasan dengannya..deg..deg..deg, hati ini berdebar begitu kencangnya, walau mungkin dia cuek-cuek saja. Kalau sudah begini, hanya istighfar yang saya kumandangkan dalam hati. Tentang siap dia, biarkan saya dan Allah saja yang tahu.

Biarlah cinta ini tertunda. Nalar rasional saya mengatakan bahwa sebaiknya saya menyibukkan diri dengan aktivitas yang bermanfaat. Tak baik terlalu memikirkannya karena hanya akan menjadi racun-racun hati. Cintai dia sekedarnya saja, toh belum tentu kelak jadi istri agar kalau jadi istri orang lain hati ini tidak terlalu tersayat-sayat.

Begitulah, kini, sambil berjuang menyelesaikan kuliah, saya menyibukan diri dalam gerakan mahasiswa (KAMMI), organisasi kepenulisan (FLP) serta mengurusi anak-anak sekolah dalam korp aktivis dakwah sekolah. Dan tentu saja, mencoba serius berusaha mencari bekal untuk menikah nanti.

Kota Satria
2 April 2006 pukul 03.08

http://www.wedangjae.com/index.php?option=com_content&task=view&id=193&Itemid=5

Dipublikasikan pada: 26/3/2007 | 09 Rabbi al-Awwal 1428 H | Hits:
Email This Post Kirim ke teman | Print | Trackback | del.icio.us | Ke atas