Tentang Cinta di Rumah Kita


Email This Post

mohammad fauzil adhim
Sakinah Mawaddah Wa Rahmah

Seperti kata Linda J. Waite, penulis buku Selamat Menempuh Hidup Baru (Qanita, Bandung), pernikahan yang hanya meneguhkan cinta dua orang akan mudah pudar. Perlu ada ikatan yang lebih besar, lebih suci, sehingga dalam pernikahan akan menyemai cinta yang menghidupkan jiwa. Cinta yang meredakan gejolak-gejolak jiwa, akan tumbuh hadir menyertai perkawinan, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu dari jenismu sendiri istri, supaya kamu merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ter­dapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Ruum: 21).

Sakinah hadir dengan sendirinya sebagai anugerah dari Allah yang menyertai setiap pernikahan. Ia tak perlu menjadi tujuan. Kalau kemudian tak ada sakinah dalam rumah tangga kita, ada yang perlu kita periksa dalam niat dan tujuan kita menikah, serta bagaimana kita merawatnya. Mawaddah wa rahmah –cinta yang bergelora dan kasih yang tulus– menilik ayat tadi akan ja’ala (diadakan, dijadi­kan) oleh Allah kepada sebagian hamba-hamba-Nya.

Mawaddah –berasal dari kata wudd—adalah cinta yang bergelora. Cinta yang utopis. Cinta yang membakar semangat sehingga menguatkan orang-orang yang lemah, menjadikan bersemangat orang-orang yang lemah harapan, menumbuhkan opti­misme pada orang-orang yang jiwanya merasa tak berdaya. Cinta seperti inilah yang membuat kita tetap mampu tersenyum lebar meskipun perut terasa lapar. Allah Ta’ala akan tanamkan pada hati kita wudd apabila kita menegakkan iman dan amal shalih. Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal-shalih, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa cinta (wudd).” (QS. Maryam: 96).|

Elaine N. Aron, penulis buku The Highly Sensitive Person in Love menunjukkan bahwa yang dapat memelihara cinta dalam perkawinan bukanlah kesamaan karakter, kesamaan hobi dan bukan pula rasa cinta yang mereka bawa sebelum memasuki perkawinan. Tetapi bagaimana mereka menjadikan perkawinannya sebagai sesuatu yang bersifat spiritual. Sebanyak apa pun perbedaan antara Anda dan istri atau suami Anda, jika diikat oleh ruh yang sama, maka seperti pasukan, Anda akan membentuk barisan yang rapat. Yang solid. Yang kompak. Al-arwahu junudun mujannadah. (Sesungguhnya) ruh-ruh itu seperti pasukan yang berbaris (he… hm… kalau yang ini bukan dari Elaine N. Aron).
Cinta dan Barakah
Rasulullah saww. melarang kita mendo’akan pengantin baru dengan do’a bahagia dan banyak anak, tetapi menyuruh kita mendo’akan agar pernikahan itu barakah. Apa istimewanya? Wallahu a’lam bishawab. Sepanjang saya tahu, di dalam pernikah­an yang barakah pasti akan hadir sakinah mawaddah wa rahmah. Tetapi dalam per­nikahan yang di dalamnya ada ‘ulfah (keharmonisan), belum terdapat barakah. Se­cara sederhana barakah bermakna ziyadatul-khair. Kebaikan yang bertambah-tambah.

Apa yang mendatangkan barakah? Mari kita simak ayat berikut ini, “Andaikata penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan bukakan untuk mereka barakah dari langit dan bumi. Tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raaf: 96).

Agar Cinta Bersemi Indah

Tetapi… setelah cinta hadir dalam pernikahan, padahal sebelumnya engkau tidak saling mengenal, maka ada yang perlu kita dan kita rawat. Apa saja yang perlu kita perhatikan? Inilah beberapa catatan yang menarik kita simak: Bicaralah dengan Mesra

Al-Qur’an memberi kita panduan berkomunikasi. Kepada publik, gunakan qaulan maysuran (berkata yang sederhana, mudah dimengerti). Kepada anak, pakailah qaulan sadidan (perkataan yang tegas, straight to the point, konsisten). Kepada orang yang keras kepala seperti Fir’aun, berbicaralah dengan menyentuh (qaulan layyinan). Adapun kepada suami atau istri, Allah perintahkan kita untuk berbi­cara dengan qaulan ma’rufah (perkataan yang enak didengar, indah dirasa). Ini bukan soal apa yang kita bicarakan, tetapi bagaimana kita mengatakannya sebagaimana air mine­ral bisa bernama Aqua, bisa bernama Evian dan bisa juga bernama Qannat yang mengucapkannya saja bikin tenggorokan tersendat.

Ada Tiga Panggilan Untuknya

Rasulullah saw. memanggil istrinya, ‘Aisyah, dengan tiga panggilan. Panggilan yang berbeda mengisyaratkan suasana yang berbeda. Rasulullah saw. memanggil dengan sebutan “Ya ‘Aisyah”, “Ya ‘Aisy” dan “Ya Humaira’”. Sebutan humaira’ (yang pipinya merah jambu) menunjukkan panggilan yang mesra. Nah, bagaimana kita memanggil istri atau suami kita di rumah?Sebuah Kekuatan di Telinga Kita “Barangsiapa yang paling baik dalam mendengarkan,” kata ‘Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhahu, “maka dialah yang segera mendapatkan manfaat.” Man ahsanal istima’, ta’ajjalal intifa’.

Diane E. Papalia & Sally Wendkos Olds menulis dalam buku Human Development bahwa anugerah terindah bagi seorang wanita setelah menikah adalah ia menda­patkan orang yang mendengar keluh-kesahnya, kisah-kisah yang tak terlalu pen­ting untuk diceritakan tetapi baginya sangat bermakna, serta tak terkecuali omelan-omelannya. Jika Anda ingin tahu apa yang paling ampuh meredakan rasa cembu­ru yang berapi-api dari seorang istri, lebarkanlah telinga Anda. Rasulullah saww. memberi contoh bagaimana mendengar dapat melahirkan kekuatan yang besar. Maknanya adalah Pengakuan dan Penghormatan Rasulullah Saw. bersab­da, “Engkau tak mungkin dapat memenuhi kebutuhan semua orang dengan hartamu; karenanya cukupilah mere­ka semua dengan wajahmu yang gembira dan watak yang baik.” (HR. Al-Hakim).

Suatu ketika Sa’d bin Hisyam bertanya kepada ‘Aisyah tentang akhlak Rasulu­llah Saw.. Mendapat pertanyaan seperti itu, ‘Aisyah balik bertanya, “Apakah engkau membaca Al-Qur’an?”

“Tentu saja,” kata Sa’d bin Hisyam menjawab.

“Akhlaknya adalah Al-Qur’an,” kata ‘Aisyah menerangkan. Tidak puas dengan jawaban itu, Sa’d bin Hisyam meminta ‘Aisyah untuk memberi jawaban yang rinci. Tetapi ‘Aisyah menyuruh orang untuk membaca sepuluh ayat dari surat Al-Mu’minun.Sebagaimana Sa’d bin Hisyam, kita mungkin masih sulit membayangkan akhlak Rasulullah Saw.. Sa’d bin Hisyam yang hidup sezaman dengan Nabi Saw. saja masih meminta Ummul Mukminin ‘Aisyah untuk merinci. Padahal ia masih sem­pat melihat Rasu­lullah Saw. secara langsung. Ia juga membaca Al-Qur’an. Bahkan tak sekedar membaca, kehidupan para sahabat hingga tabi’in sangat dekat dengan Al-Qur’an. Akan tetapi dengan keadaan mereka yang seperti itu saja, jawaban “akhlaknya adalah Al-Qur’an” dirasa masih kurang jelas. Lalu bagaimana dengan kita yang amat jauh dari Al-Qur’an? Mush­haf Al-Qur’an yang kita miliki lebih banyak dan lebih indah dari milik para sahabat, tetapi ham­pir tidak mengenalnya. Karena itu, untuk mengetahui akhlak Nabi Saw. secara lebih sem­purna, marilah kita tengok Imam Al-Hafidz Imaduddin Abul-Fida Ismail bin Katsir. Da­lam taf­sirnya yang terkenal, Ibnu Katsir pernah menuliskan penuturan Atha’ sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Mardawih:“Saya, Ibnu Umar dan ‘Ubaid bin Amir pergi ke rumah ‘Aisyah r.a.. Kami pun ma­suk ke rumahnya. Antara kami dan dia terdapat hijab (se­kat penutup),” kata Atha’. Kemudian Atha’ menu­turkan percakapan yang berlangsung di rumah ‘Aisyah:“Hai ‘Ubaid,” kata ‘Aisyah, “mengapa ka­mu tidak mengunjungiku?”“Karena penyair mengatakan,” jawab ‘U­baid, “Berkunjunglah dengan jarang, nis­caya ber­tambahlah kecintaanmu.”Ibnu Umar berkata, “Izinkan kami di sini sejenak dan ceritakanlah kepada kami perkara pa­ling mempesona dari semua yang pernah engkau saksikan pada diri Nabi.”‘Aisyah menarik nafas panjang. Kemudi­an dengan terisak menahan tangis, ia ber­kata dengan suara lirih, “Kaana kullu amrihi ‘ajaba. Ah, semua perilakunya menak­jubkan bagiku.”Masih dengan suara lirih, ‘Aisyah bercerita, “Suatu malam, ketika dia tidur ber­sa­maku dan kulitnya sudah bersentuhan dengan kulitku, dia berkata, ‘Ya ‘Aisyah, izinkan aku beribadah kepada Tuhanku.’ Aku berkata, ‘Sesungguhnya aku senang mera­pat denganmu, tetapi aku juga senang melihatmu beribadah kepada Tuhanmu.’ Dia bangkit mengambil gharaba air, lalu ber­wudhu. Ketika berdiri shalat, kudengar dia terisak-isak menangis hingga airmatanya mem­basahi janggut. Kemudian dia bersujud dan menangis hingga lantai pun basah oleh air ma­ta. Lalu dia berbaring dan menangis hingga datanglah Bilal untuk memberitahukan datang­nya waktu Subuh.”

‘Aisyah melanjutkan, “Bilal berkata, ‘Ya Rasulallah, kenapa engkau menangis pa­dahal Allah telah ampuni dosa-dosamu baik yang terdahulu maupun yang akan datang.’ ‘Bukankah aku belum menjadi hamba yang bersyukur?’ kata Rasulullah, ‘Aku menangis karena malam tadi Allah telah turunkan ayat kepadaku, ‘Sesung­guhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.’ Kemudian Nabi ber­sabda, ‘Celakalah orang yang membaca ayat ini namun tidak merenungkannya.’”

Allahumma shalli ‘alaa Muhammad. Apa makna peristiwa ini? Penghargaan, peng­akuan dan penghormatan terhadap eksistensi istri. Uang belanja yang cukup saja tak cukup. Fasilitas saja tak bisa merawat cinta. Ada yang tak bisa dibeli dengan uang, dan ia hanya bisa dibeli dengan penghormatan dan pengakuan.

http://www.al-azzam.com/index.php?option=com_content&task=view&id=44&Itemid=30

Dipublikasikan pada: 28/3/2007 | 11 Rabbi al-Awwal 1428 H | Hits:
Email This Post Kirim ke teman | Print | Trackback | del.icio.us | Ke atas