Keluarga yang Mengokohkan Ketakwaan kepada Allah


Email This Post

Adi Junjunan Mustafa

new_picture_12.pngAlhamdulillaah. Pujian dan rasa syukur kepada Allah swt memenuhi lubuk hati kita sebagai orang-orang yang beriman, ketika Dia menghadirkan kembali bulan Ramadhan ke tengah-tengah kehidupan kita. Seruan untuk menjalankan ibadah shaum kembali menggema di mana-mana. Ajakan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mengagungkanNya kembali menguat.

Kita pun dengan penuh suka cita menghiasi hari-hari kita dengan peningkatan kualitas ruhani dan pensucian jiwa. Kita merasakan kedekatan diri dengan Allah Yang memberitahukan kepada yang bertanya tentangNya, bahwa diriNya amat dekat. Dia akan mengabulkan doa-doa mereka yang berdoa. Dan petunjuk akan Dia limpahkan kepada siapapun yang memenuhi seruan dan panggilanNya serta memenuhi relung hatinya dengan keimanan kepadaNya (QS. Al Baqarah [2]:186).

Inilah seruan agar kita meningkatkan ketakwaan kepada Allah melalui berbagai amal ibadah selama bulan Ramadhan. Ketakwaan adalah buah dari peribadahan, sebagaimana difirmankanNya:

Hai manusia, beribadahlah kepada Rabb-mu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. (QS. Al Baqarah [2]:21).

Sebagaimana kita maklumi, peribadahan sendiri di dalam Islam bukan permasalahan ritual semata. Ibadah kepada Allah adalah tugas manusia dalam kehidupannya secara utuh. Demikianlah, kehidupan berkeluarga yang kita lakukan pun berada dalam kerangka ibadah kepadaNya.

Maka pada kesempatan ini, di bulan yang penuh keberkahan ini, marilah kita kembali merenung dan menguatkan ‘azzam untuk mengokohkan kembali aktifitas peribadahan dan sendi-sendi ketakwaan pada bangunan keluarga kita ini.

Kehidupan berkeluarga ini melalui berbagai liku-liku perjalanan. Kesibukan kehidupan dunia tidak jarang membuat hati kita lalai dan terlupa untuk tetap membaca makna dan tujuan hakiki kehidupan secara seksama. Tidak jarang waktu-waktu kehidupan dilalui dengan keringnya sentuhan ruhani. Kehidupan menjadi rutinitas yang melelahkan. Dan begitulah kita sebagai manusia terkadang terseret pada suasana asing, sehingga kita seperti tidak mengenal diri sendiri.

Ada pula kondisi di mana tuntutan kehidupan dunia memalingkan hati nurani dari nilai-nilai kejujuran. Awalnya adalah panggilan kasih sayang yang fitrahi kepada istri dan anak-anak. Setiap suami pastilah ingin membahagiakan istrinya. Setiap orang tua pastilah menginginkan anak-anaknya tumbuh menjadi manusia yang sukses. Untuk tujuan ini apapun dilakukan seorang suami dan ayah, hingga terkadang ada rambu-rambu Ilahi yang terlanggar. Pada saat seperti itu seolah istri dan anak-anak menjadi musuh yang menjerumuskan seorang suami atau ayah melanggar aturan-aturan agama. Padahal sejatinya seorang suami atau ayah senantiasa menjaga keluarga agar tidak terjerumus ke dalam kesengsaraan tiada terperi pada adzab api neraka (QS. At Tahrim [66]:6).

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. At Taghabun [64]:14)

Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Dia ingin memanggil mereka yang sempat lalai untuk segera kembali kepadaNya. Agar suami sebagai pemimpin keluarga segera menata kembali kehidupan keluarga. Agar keluarga kembali menapaki jalan-jalan kemuliaan.
Nilai-nilai ketakwaanlah yang dapat mengingatkan kita dari kondisi-kondisi kehidupan yang melalaikan, di mana seorang manusia melupakan jati dirinya, tatkala ia menjauh dan melupakan Allah swt. Mari kita simak firmanNya:

Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS. Al Hasyr [59]:18-19)

Dan marilah kita segarkan kembali bahwa keluarga kita pun dibangun di atas landasan ketakwaan kepada Allah, seperti tersirat pada firmanNya:

Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silatur-rahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS. An Nisa [4]:1)

***

new_picture_11.pngAlhamdulillaah. Kita diberiNya kesempatan memasuki bulan Ramadhan yang memberi kita banyak kesempatan untuk meningkatkan ketakwaan, sebagaimana disampaikan Allah swt pada ayat yang mewajibkan kita berpuasa di dalamnya (QS. Al Baqarah [2]:183). Lalu apa sajakah nilai-nilai ketakwaan ini?

Ketakwaan tergambar pada ketaatan kepada Allah. Ketakwaan juga amat dekat dengan kesadaran kita untuk melakukan pengendalian diri dari hasrat buruk dan perbuatan dosa (maksiat) kepada Allah. Secara khusus di dalam bulan Ramadhan, kita dan keluarga mematuhi perintahNya untuk berpuasa. Walaupun tak ada seorang pun yang melihat kita, tetap kita tinggalkan makan dan minum di siang hari. Begitu juga hubungan intim dengan istri di siang hari, kita tinggalkan demi memenuhi perintah Allah. Kesemuanya itu kita laksanakan semata karena keimanan kepada Allah, karena kita yakin Dia Maha Melihat perbuatan kita dan karena kita yakin bahwa Allah tak akan pernah menyia-nyiakan ketaatan kita kepadaNya. Mengiang-ngiang di telinga kita sebuah Hadis Qudsi, ”Semua amal anak Adam (manusia) baginya, kecuali shiyam. Maka sesungguhnya shaum itu untuk-Ku dan Aku membalasnya secara khusus.” (Hadis Muttafaqun ‘alaihi).

Sebagai catatan penting, usaha ibu dan ayah dalam membimbing anaknya berlatih berpuasa seraya mengenalkan Allah, Sang Pemberi perintah ibadah ini, akan memperkaya spiritualitas anak dan membangun kekokohan hubungannya dengan Allah sejak dini.

Ketakwaan juga tercermin pada semangat seluruh keluarga untuk mendapatkan petunjuk (hidayah) Allah swt dengan menambah ilmu dan wawasan keislaman. Tiada lagi sumber ilmu dan wawasan yang lebih baik daripada Kitab Allah. Dan bulan Ramadhan ini amat dekat hubungannya dengan Kitab Allah Al-Quran, sebab Al-Quran diturunkan di bulan ini (QS. Al Baqarah [2]:185).

Karenanya bersemangatnya keluarga untuk melakukan tilawah dan tadarrus Al-Quran menjadi amaliyah utama di bulan Ramadhan. Kita dapat menghidupkan suasana Qurani di rumah dengan mengajar anak-anak membaca Al-Quran dan saling mendorong untuk menambah hafalan serta mengkhatamkan bacaan Al-Quran. Perginya kita sekeluarga melaksanakan sholat tarawih berjamaah pada hakikatnya adalah mendengarkan dan menyimak bacaan Al-Quran dengan utuh dan seksama.

Keseluruhan kegiatan kita yang terkait dengan Al-Quran di atas adalah usaha nyata untuk menjadikan Al-Quran ini sebagai petunjuk kehidupan. Ini berarti pula menjadi orang-orang berkualifikasi takwa.

Alif laam miim. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (QS. Al Baqarah [2]:1-2)

Ketakwaan tergambar pula dalam sikap cinta kasih keluarga kepada orang-orang yang membutuhkan bantuan (QS. Ali Imron [3]:133-134). Selama bulan Ramadhan, kita sangat dianjurkan untuk memperbanyak sedekah, mulai dari yang sifatnya wajib hingga yang sunnah. Yang wajib adalah pembayaran fidyah, bagi mereka yang tidak sanggup berpuasa, karena sudah tua atau menderita sakit berat yang menahun. Yang sunnah dan terkait erat dengan shaum adalah pemberian makanan untuk berbuka kepada mereka yang menjalankan ibadah shaum. Dan secara umum sedekah di bulan ini amat dianjurkan. Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw yang amat pemurah, semakin dermawan di bulan ini. Kedermawaannya bahkan digambarkan lebih cepat daripada angin yang berhembus.

Pada sikap empati dan kasih sayang yang ditunjukkan secara kolektif ini terdapat kekuatan besar untuk menghindarkan keluarga kita dari sikap kikir dan menjadikan dunia sebagai tujuan akhir kehidupan. Sebaliknya sikap empati dan kasih sayang yang dipupuk selama bulan Ramadhan akan mengangkat keluarga kita pada tempat yang mulia dengan digolongkan sebagai komunitas yang melakukan kebajikan (al-abrar). Allah swt menggambarkan model keluarga dermawan ini pada ayat-ayat berikut:

Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan (al-abrar) minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur, (yaitu) mata air (dalam surga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya. Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana. Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih. Sesungguhnya kami takut akan (azab) Rabb kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan. Maka Rabb memelihara mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati. (QS. Al Insan [76]:5-11).

Akhirnya ketakwaan adalah cerminan kepekaan jiwa untuk senantiasa menyempurnakan kesucian diri. Ini tergambar dari permohonan ampunan kepada Allah swt atas segala kesalahan dan kekhilafan kita dalam menjalani kehidupan.

Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa berada di dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik; Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah). (QS. Adz Dzariyat [51]:15-18)

Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah. Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengatahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Rabb mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal. (QS. Ali ‘Imron [3]:135-136)

Diantara kebahagiaan terbesar yang kita damba-dambakan adalah ketika Allah swt mengampuni kesalahan dan dosa-dosa kita. Semogalah melalui ibadah shaum tahun ini kita memperoleh limpahan magfirahNya. ”Barangsiapa berpuasa Ramadhan dengan sepenuh iman dan kesungguhan, maka akan diampunkanlah dosa-dosa yang pernah dilakukannya.” (HR Imam Bukhari, Imam Muslim dan Imam Abu Daud).

Inilah kondisi-kondisi yang akan menghantarkan kita pada makna kehidupan hakiki dalam ketakwaan kepada Allah, yaitu manakala kita senantiasa taat kepada Allah, senantiasa mengendalikan diri dari perbuatan dosa, senantiasa berusaha berada dalam naungan hidayahNya, senantiasa menebarkan kasih sayang di tengah-tengah umat manusia dan senantiasa memohon ampunanNya atas segala kesalahan dan kekhilafan.

Semoga Allah swt menjadikan keluarga-keluarga kita, keluarga-keluarga yang senantiasa mengokohkan ketakwaan kepadaNya. Aamiin.

WaLlaahu a’lamu bish shawwab. Al-faqiir ilaLlaahi,
Adi J. Mustafa

http://kmii.jp//index.php?option=com_content&task=view&id=211&Itemid=74

Dipublikasikan pada: 30/3/2007 | 13 Rabbi al-Awwal 1428 H | Hits:
Email This Post Kirim ke teman | Print | Trackback | del.icio.us | Ke atas