Aku Sedang Marah Pada Diri Sendiri
Penulis : Adi Junjunan Mustafa
Mungkin ada benarnya, perempuan itu lebih cepat dewasa daripada
lelaki. Setidaknya aku banyak belajar pada kesabaran istriku ketika
menapaki tahun-tahun awal pernikahan.
“Assalaamu’alaikum.†Kata-kataku tak terlalu ramah. Wajahku kusut.
Badanku cape. Yang paling berat, jiwaku amat lelah.
“Wa’alaikumus salam,†jawab istriku sambil menghampiri ke pintu, sun
tangan dan mengambil tas sekolahku. Kali ini tak ada kecup mesraku.
Entah kenapa beku rasa hatiku. Bahkan keramahan istriku tidak
menggelitik syaraf-syarafku untuk tersenyum.
“Kenapa …?†Itu saja yang keluar dari mulut istriku, melihat
reaksiku yang tidak seperti biasanya. Lalu dia beranjak ke tempat tas
sekolahku biasa disimpan.
Aku bisa merasakan tentu dia merasakan keanehan sikapku sore ini.
Mestinya aku bisa cepat berganti peran, melupakan berbagai himpitan
persoalan di kampus atau persoalan lain di luar rumah. Tapi aku tak
bisa menguasai diriku. Aku seolah sedang terbang dengan egoku. Aku
cuek dengan sekelilingku, bahkan terhadap istriku yang saat ini
sedang dilanda bingung …
“Akang cape … Mau tidur dulu!†Betapa ketusnya ucapan itu keluar.
“Mau langsung tidur … Enggak makan dulu? Udah dimasakin capcay
lho.†Kata-kata istriku masih seramah tadi. Capcay, pikirku. Makanan
kesukaanku. Mestinya aku langsung ke meja makan dan mencicipinya,
seperti kebiasaanku. Tapi saat itu enzim-enzim selera lidahku pun
seolah ikut lelah. Selelah hatiku.
“Enggak lapar Neng.†Aku melangkah begitu saja ke kamar tidur
meninggalkan istriku.
“Ya udah, kalau cape mangga* ditidurkan dulu. Ntar kalau kebangun
malam, masakan ada di meja, ya,†kata istriku, masih dengan nada
lembut. Tapi justru kata-kata lembut itu makin menyiksaku. Hati yang
sesaat sakit memang terlalu kasar untuk bisa mengapresiasi kelembutan.
Masih dengan baju lusuh yang dipakai seharian tadi, aku menjatuhkan
badanku ke ranjang. Berbagai rasa aneh berkecamuk di hatiku. Aku
merasakan betapa kekanak-kanakan sikapku. Bagaimana mungkin aku
bersikap seperti ini? Tapi lagi-lagi egoku mengalahkan segala
kewarasan untuk bersikap. Aku mencoba memejamkan mata. Gagal.
Beberapa menit aku coba untuk benar-benar tidur … Masih gagal.
Setelah berkali-kali badan bolak-balik di tempat tidur. Berganti-
ganti posisi antara memeluk guling, terlentang, telungkup …
akhirnya aku tertidur.
Aku merasa pegal. Otot-otot sekitar leher dan punggungku terasa agak
tegang. Aku terjaga. Sambil beradaptasi dengan cahaya lampu tidur
yang agak redup, aku mencoba membaca jarum jam di lengan kananku.
Hmm, jam sebelas. Ya ampun, perutku keroncongan. Aku coba ingat-
ingat, kenapa aku merasa lapar. Sekelebat aku ingat capcay. Ya,
istriku bilang dia masak capcay.
Istriku … Dengan refleks aku lekas mencari wajah istriku. Dalam
keremangan aku bisa melihat dia tidur pulas. Wajah itu begitu teduh.
Tapi mengapa wajahnya nampak seperti menyimpan lelah. Pikiranku
terseret ke suasana sore tadi. Ya Allah, apa yang sudah aku lakukan?
Astagfirullah. Aku masih menatap guratan lelah di wajah istriku.
Tidak seperti bisanya, tak ada gurat sumringah pada wajahnya saat
tidur kali ini. Maafkan aku, sayang, aku kehilangan kontrol sore
tadi. Dan lelah wajahnya justru menghadirkan bayangan-bayangan
keramahan dan kelembutannya saat dia menyambutku, yang tiba-tiba
bersikap aneh sore tadi. Beribu penyesalan berkecamuk di dadaku. Tak
terasa ada setetes dua tetes air mata di ujung kelopak mataku.
Maafkan aku, sayang … Aku kecup lembut kening istriku. Dia
menggeliat sebentar, tapi kembali lelap dalam tidurnya.
Hati-hati aku bangun dari tempat tidur, khawatir membuat istriku
terganggu. Aku melangkah ke kamar mandi. Berwudhu. Kemudian sholat.
Berkecamuk jiwaku dalam sholat. Aku malu pada Allah. Aku malu pada
caraku bersikap di rumah sore ini. Selepas sholat aku memohon ampun
padaNya atas sikapku yang berlebihan dan tak mampu menguasai emosi
dengan baik. Sesak rasanya dadaku pada munajat. Tetesan air mata kali
ini adalah untuk penyesalanku bersikap tak ramah pada istriku.
***
Malam bergerak ke pertengahannya. Aku makan sendiri. Sepi. Aku
tersenyum kecut antara suka dan sedih, saat lidahku mulai merasakan
enaknya capcay. Walaupun hati mulai tenang, tapi rasa bersalah pada
istiku masih belum hilang. Bagaimana mungkin sore tadi aku tak
menggubrisnya saat menawarkan capcay, yang tentu dia buat dengan
harapan membuat aku senang.
“Makan sendirian aja, kok enggak ngajak-ngajak … ?†Suara istriku
memecahkan kesunyian dan lamunanku. Dia menghampiriku. Tengannya
mengusap punggungku.
“Ya Neng … lapar nih,†jawabku agak kikuk.
“Sama donk, saya juga lapar,†kata istriku sambil duduk di kursi
sebelahku.
“Lho, belum makan memang?†tanyaku.
“Belum ….â€Istriku tersenyum. Aku terdiam. Rasa bersalahku kembali
hadir.
“Heh … kok malah bengong sih?â€
Sesaat selera makanku menghilang. Dadaku bergetar.
“Neng … Maafkan Akang atas sikap sore tadi, ya …,†Aku hentikan
ucapanku untuk melihat reaksi istriku. Dia tetap tenang menatapku,
seolah menunggu aku melanjutkan kata-kataku.
“Akang sore tadi cape dan enggak ramah!†Istriku menghentikan suapan
nasi ke mulutnya. Sejenak suasana dibalut sepi.
“Kang … saya sebetulnya sedikit gundah juga sore tadi. Apa saya
melakukan sesuatu yang membuat Akang tidak suka …,†kata istriku
dengan sorot mata penuh tanya.
Aku lekas memotong,â€Enggak Neng, percayalah enggak ada yang salah
pada dirimu. Akang yang salah.â€
“Alhamdulillah …,†istriku tersenyum.
Kami masih melanjutkan makan. Istriku sempat juga membuatkan teh
hangat manis.
“Eh Kang, masih mau tanya tentang sore tadi. Boleh?†Aku
mengangguk. “Ada apa sih, kok Akang agak aneh sore tadi?â€
Aku kaget mendapat pertanyaan itu. Bagaimana aku menjelaskannya?
Selalu saja tidak mudah mengungkapkan perasaaan. Apalagi perasaan
bodoh saat aku kehilangan kontrol atas diri sendiri. Bagaimana
mungkin menjelaskannya, padahal aku sendiri tidak mengerti mengapa
aku bersikap seaneh itu.
“Aku sedang marah pada diri sendiri …,†jawabku lirih dan tak
pasti. Itulah yang bisa meluncur dari mulutku.
Istriku tersenyum. Senyumnya semakin lebar dan kemudian pecah menjadi
tawa yang renyah. Sejenak aku terkejut dan heran, tapi kemudian mulai
ikut larut dalam tawa. Mentertawakan kelucuanku sendiri!
“Marah pada diri sendiri ya …,†istriku mengulang jawabanku. Aku
mengangguk. Aku tidak tahu seberapa lucu mimikku saat itu.
***
http://flpjepang.com/?p=97