Mengelola Keuangan Keluarga Secara Islami
Ditulis oleh Republika
Dalam kaidah fikih, ekonomi keluarga mutlak tanggung jawab suami. Jika istri bekerja hasilnya untuk diri sendiri. Bila ditujukan untuk mencukupi kebutuhan keluarga, maka bernilai sedekah.
JAKARTA–Pos apa yang pertama kali kita sisihkan saat pertama kali menerima gaji? Banyak ibu rumah tangga, lajang, dan para bapak menulis belanja rutin. Menurut perencana keuangan keluarga Achmad Ghazali, jawaban itu kurang benar. ”Yang benar adalah sisihkan dulu untuk zakat, infak dan sedekah (ZIS), bayar utang, menabung baru belanja rutin.”
Mengapa demikian, menurut dia karena belanja adalah pos yang paling fleksibel. Besar atau kecilnya tergantung kebiasaan dan kemauan personal.
ZIS menurut dia berurutan dengan dunia dan akhirat. Utang berkaitan dengan urusan dunia sehingga jika telat dibayar, maka orang yang bersangkutan harus membayar denda, bunga, dan diteror debt collector. Tabungan berkaitan dengan masa tua sehingga harus dikeluarkan lebih dahulu sebelum uang gaji dibagikan untuk pos belanja rumah tangga.
Pada seminar “Mengelola Keuangan Keluarga Secara Islami” yang digelar Muamalat Institute di Jakarta akhir pekan lalu, pria yang bekerja pada Saafir Senduk dan Rekan serta mengelola rubrik konsultasi keuangan keluarga di beberapa media termasuk Republika itu mengatakan pengelolaan keuangan keluarga tak pernah diajarkan di bangku sekolah. ”Kita belajar keuangan negara, perusahaan, dan koperasi mulai bangku SMP hingga kuliah. Tapi tak satupun pelajaran manajemen kuangan keluarga.”
Secara berkelakar ia mengutarakan barangkali karena itu, banyak korupsi di Indonesiaa. ”Karena belajarnya keuangan negara, maka uang negara bercampur dengan uang rumah tangga. Begitu juga yang belajar keuangan perusahaan juga bercampur dengan keuangan pribadi.”
Mengulas bukunya yang berjudul Cashflow for Woman, Ghazali mengatakan banyak orang datang padanya meminta bantuan mengelola keuangan yang bermasalah karena utang kartu kredit dan belanja berlebihan. ”Banyak kita salah kaprah belanja karena diskon. Padahal diskon yang perlu dicermati karena tak semua sesuai dengan diskon yang diiklankan.”
Hadir pula pada acara itu Nurhayati, pemilik PT Pusaka Tradisi Ibu, produsen kosmetika Wardah dan Zahra, Anne Rufaidah, perancang busana dan Claudia Massie, penulis dan pengusaha. Ketiganya memaparkan kisah mereka mulai dari perempuan biasa hingga menjadi pengusaha dan tokoh dengan produk yang dikenal kaum Muslimah.
Mennurut ketiga perempuan itu, menjadi ibu rumah tangga biasa tidak menutup peluang untuk berusaha. ”Justeru dengan berkarya dari rumah kita bisa mengawasi anak-anak.” Nyatanya, karya mereka diakui karena mereka tidak setengah-setengah dalam berkarya dan tentu saja mengalami jatuh bangun dalam menjalankan bisnisnya.
Managing Director Muamalat Institut, Nurul B Djaafar mengatakan seminar tentang masalah aktual sehari-hari dan mendatangkan orang yang bisa menginspirasi keluarga dan kaum perempuan akan menjadi kegiatan rutin dari Muamalat Institute. Dia berharap kegiatan seperti ini akan menyosialisasikan ekonomi rumah tangga dalam konsep Islami.
Pada sesi pembuka, para ibu rumah tangga juga menyimak ekonomi keluarga menurut fikih. Dalam kaidah fikih yang dipaparkan Ahmad Nuryadi Asmawi, ekonomi keluarga mutlak tanggung jawab suami. Malah merujuk pada sebuah riwayat dia menyebut seharusnya belanja minimal untuk istri saja per hari sekitar 84 ribu. Hanya saja saat ini angka tersebut mungkin tak semua suami bisa memenuhi.
Mengenai cakupan nafkah yang menjadi tanggung jawab suami adalah semua jenis kebutuhan baik primer, sekunder, maupun komplimenter. Yang dimaksud primer adalah makan, minum, pakaian, dan semua perlengkapan termasuk tempat tinggal, kesehatan dan fasilitas yang layak dan pendidikan. Biaya sekunder termasuk pendidikan, kecantikan baik kosmetika dasar maupun kosmetika pelengkap. ”Jika istri bekerja hasilnya untuk diri sendiri. Tapi boleh disedekahkan untuk keluarga,” ujar Ahmad. (tid )
Republika, 2/2/2007
http://www.sebi.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=117&Itemid=46