Resume Diskusi “Anak 5 tahun Bisa Membaca, Child abuse kah?”


Email This Post

Bagi siapa saja yang kelak ingin punya anak, atau yang sudah punya anak dan nantinya akan menyekolahkan anaknya di TK/SD di Indonesia, ada baiknya menyimak uraian berikut. Semoga bermanfaat.

“Ha ha ha, huehehe…” Si kecil Lala tertawa terbahak-bahak, tapi setelah itu dia diam dan malah bertanya “Bunda, kenapa sih orang-orang pada ngomongin
setan?” begitu pertanyaan Lala. Entah mengerti atau tidak dengan pembicaraan kami waktu itu, tapi dia ikut juga tertawa ketika kami sedang menyimak cerita
tentang setan. Ya maklumlah, namanya juga anak-anak, kadang suka ikut-ikutan nggak jelas 🙂 Lalu apa hubungannya pertanyaan Lala dengan masalah menyekolahkan anak?Malam itu, di sebuah rumah yang nyaman di dekat Hornsmeer, Tuan dan nyonya rumah sedang mengadakan acara syukuran bagi kelahiran bayi mungil mereka, Dhafin. Tentu saja DeGromiest and the gang menyempatkan hadir di acara tersebut. Setelah menyantap makan malam yang lezat, dan sholat maghrib bergantian, sekelompok ibu-ibu dan juga yang belum berstatus ibu, asyik bercanda ria dan berbagi cerita. Mulai dari cerita tentang penculikan anak yang kian marak di Indonesia, kisah serunya pengalaman mbak Heni waktu dihipnotis, sampai kepada cerita tentang setannya mbak Ponky–yang membuat Yunia panik 🙂 dan si kecil Lala bingung.

Tak hanya sampai disitu, ada kisah menarik yang disampaikan mbak Diana dan membuat curiousity saya meningkat. “Di Jerman, ada sebuah kasus menarik, seorang anak 5 tahun dari Indonesia yang sudah bisa membaca, ternyata oleh
gurunya malah dikatakan bahwa orangtuanya telah melakukan child abuse” begitu kira-kira kisahnya.

Hal ini bagi saya menarik, karena Lala pun mengalami kasus yang sama di Belanda, tapi oleh gurunya sebaliknya malah didukung dan sedang diupayakan agar bisa naik kelas lebih cepat. Ada apa sebenarnya? Padahal Jerman dan Belanda sama-sama memberlakukan aturan, anak baru ‘diajarkan’ membaca saat usianya 7 tahun. Kalau begitu apa jadinya dengan sebagian besar
anak Indonesia ya, umumnya di usia 5 tahun mereka sudah mampu membaca bukan?

Selain itu, hal ini mengingatkan saya pada diskusi menarik–tentang masalah kemampuan membaca anak Indonesia beserta kurikulum pendidikannya–dengan mbak Ike dulu. Akhirnya, permasalahan ini saya lempar ke salah satu milis yang saya ikuti. Dari hasil diskusi itu telah dibuat resumenya, dan kebetulan ada 2 orang ibu dari Jerman yang ikut memberikan komentar.

Resumenya, silahkan dilihat disini :
http://wrm-indonesia.org/index.php?option=content&task=view&id=302

Tapi bagi yang ‘malas’ membaca karena rangkumannya pun cukup panjang, saya coba untuk memberikan kesimpulan dari diskusi tersebut.

***

Kata kunci dari permasalahan di atas adalah ‘keterpaksaan’. Bisa jadi kasus di Jerman itu memang kerap terjadi. Di Jerman, perlindungan terhadap anak
memang sangat ketat. Karena disana anak baru ‘diajarkan’ membaca saat anak berusia 7 tahun, tak heran bila ketidaklaziman ini membuat mereka berhati-hati terhadap kasus yang tidak biasa. Selain itu, pendefinisian terhadap pengajaran membaca itu sendiri belum jelas. Bisa saja materi yang diberikan pada anak dibawah 7 tahun di Jerman oleh beberapa orang dikatakan bukan mengajarkan membaca. Tapi oleh sebagian yang lain hal itu sudah bisa dikatakan pengajaran membaca (proses menuju membaca).

Dari diskusi tersebut, hampir semua ibu sepakat bahwa yang disebut child abuse sebenarnya bukanlah pengajaran membacanya melainkan pemaksaannya. Ketika seorang anak enjoy-enjoy saja dan have fun dengan
pengajaran membaca, why not? Guru-guru di Jerman pun akan mengerti dan tidak akan menganggap tindakan ini sebagai child abuse bila alasan yang dikemukan jelas, bahkan mungkin akan didukung seperti yang terjadi pada
Lala di Belanda.

Apalagi bagi anak yang memang punya kemampuan otak di atas rata-rata atau memang sejak kecil sudah biasa dibacakan buku oleh orangtuanya. Mereka begitu familiar dengan huruf dan cepat sekali menyerap apa-apa yang mereka lihat. Sehingga sangat wajar bila akhirnya minat mereka untuk bisa membaca begitu besar. Pada anak-anak seperti ini, kebanyakan orangtua akhirnya ‘mengajarkan’ anak-anaknya membaca. Tetapi metodanya pun diupayakan agar sesuai dengan dunia anak–dunia bermain– dan tentu saja menyenangkan.
Karena hal-hal itulah maka tak heran bila di Indonesia, terdapat cukup banyak kasus anak-anak kecil–yang tanpa dipaksa–sudah bisa membaca.

Tapi, tentu saja yang juga patut diperhatikan adalah motivasi dibalik pengajaran orangtua pada anak-anak dengan minat besar tersebut. Betulkah memang karena minat besar si anak? ataukah lantaran keinginan pribadi yang terkait dengan proud as parents–yang bangga jika melihat anak-anaknya kecil-kecil sudah bisa membaca? Hal ini terpulang kepada hati nurani masing-masing orangtua.

Kalau tanpa dipaksa oke, bagaimana dengan yang dipaksa? Ini lah yang patut dikuatirkan dan layak disebut child abuse tampaknya. Apalagi, di Indonesia
sekolah TK yang melakukan metoda pengajaran membaca dengan paksaan ini pun cukup marak. Bahkan dibeberapa sekolah ada pula yang konsepnya ‘bermain sambil belajar’ tapi ujung-ujungnya tetap saja ‘belajar sambil bermain’ Sebagai informasi dari saya, ternyata ada sebuah penelitian yang menyebutkan bahwa pemaksaan pengajaran membaca di usia dini, malah bisa menurunkan
tingkat IQ saat di SD kelak! Hmm pantas saja bila akhirnya dikatakan child abuse bukan?

Indonesia memang sedang ‘terkapar’ di segala bidang, termasuk pendidikan. Orangtua di Indonesia yang memiliki anak usia TK kerap bingung memilih sekolah dan bagaimana seharusnya bertindak. Di satu sisi kurikulum anak SD kelas 1 mengharuskan anak untuk sudah bisa membaca. Di sisi lain, orangtua yang sadar dan tidak ingin memaksa anaknya, tetap dihadapkan pada tuntutan tersebut. Sehingga mau tak mau tetap saja mereka harus mengajarkan anaknya membaca. Dari kondisi tersebut, akhirnya banyak orangtua yang malah meminta guru-guru TK untuk mengajarkan anaknya membaca lewat
les. Guru-guru TK pun ‘asik-asik’ saja karena malah mendapat penghasilan tambahan barangkali.

Masalah ini memang menjadi dilema bagi banyak orangtua di Indonesia. Jadi, bagi anak-anak balita yang akan bersekolah di Indonesia, tampaknya orangtuanya harus berpikir masak-masak sebelum memutuskan untuk memilih
sekolah. Keliru pilih sekolah atau main paksa sama anak , jangan heran kalau akhirnya orang-orang di negara lain malah menuduh kita telah melakukan child
abusing.

http://cafe.degromiest.nl/node/161

Dipublikasikan pada: 30/3/2007 | 13 Rabbi al-Awwal 1428 H | Hits:
Email This Post Kirim ke teman | Print | Trackback | del.icio.us | Ke atas