Positive Parenting


Email This Post

Oleh : Muhammad Fauzhil Adhim

[ usahamulia.net ] ” Ketidakbahagiaan anak-anak kita adalah musibah besar di masa dewasa mereka dan hari tua kita ”

Steven W. Vanoy, termasuk satu di antara sedikit orang Nebraska yang beruntung. Dalam usianya yang masih sangat muda, ia telah mencapai karier yang sukses, seorang istri yang cantik dan dua putri yang mempesona. Ia memiliki segala hal yang dapat memberi kesenangan hidup, kecuali satu hal : kehangatan komunikasi antara dia dengan istri dan anak-anaknya. Ia larut dalam kariernya, atau bahkan tenggelam sehingga tidak bisa lagi mengelak dari kesibukan-kesibukan kerja yang memburunya.

“Tidak memerlukan waktu lama untuk mengetahui konsekuensi kehidupan dengan prioritas semacam ini,” kata Vanoy ketika bercerita tentang kesibukannya yang padat sehingga tak ada waktu buat keluarga, “Istri dan anak-anak saya meninggalkan saya.”

Vanoy tidak pernah menduga bahwa peristiwa semacam ini bisa terjadi dalam keluarganya, sebuah keluarga berantakan dengan seorang suami yang memiliki karier cemerlang. Akibatnya Vanoy mengalami distress, bahkan meningkat sampai kecenderungan depresi. Ia telah kehilangan segalanya. Ia merasa hidupnya tidak berharga lagi, sehingga muncul keinginan untuk bunuh diri ketika kariernya telah hancur. Sudah tidak ada lagi yang dapat diharapkan dari dunia ini ; keluarga telah meninggalkan dirinya, dan karier sudah berakhir manakala ia terombang-ambing oleh ratapannya terhadap kepergian istri dan anak-anaknya.

Tetapi persitiwa besar terjadi pada Steven W. Vanoy. Di saat ia ingin mengakhiri hidupnya tetapi takut mati, sementara untuk hidup sudah tidak ada artinya sama sekali, Vanoy menemukan jalan dalam dirinya. Di tengah malam yang sunyi, ia menemukan kesalahan-kesalahan mendasar yang telah terjadi selama ini dalam hidupnya. Ia terlalu banyak memikirkan karier dan lupa memberi perhatian pada keluarganya. Ia merasa bahwa melahirkan anak yang unggul adalah dengan menjamin ketersediaan dana dan fasilitas yang memadai untuk maju.

“Pesan amat jelas yang saya dapatkan malam itu adalah bahwa tanpa uang pun,” kata Vanoy, “saya dapat memberi mereka anugerah yang dapat mengubah hidup mereka, anugerah yang dapat membantu mereka menciptakan kehidupan yang jauh lebih kaya dan sempurna daripada yang dapat dibeli dengan uang.”

“Pemberian seperti sepeda, pakaian, atau mainan elektronik tidak dapat dibandingkan dengan landasan anugerah tak ternilai yang berupa kualitas dan nilai-nilai, baik masa kini maupun masa yang aka datang,” kata Vanoy menuturkan dalam bukunya 10 Anugerah Terindah untuk Ananda. Percikan kesadaran ini menjadikan Vanoy bangkit dari keterpurukan dan perasaan tak berguna. Ia memperbaiki kembali kehidupannya, merajut lagi komunikasinya dengan keluarga. Ia dapat meraih kembali arti hidup yang bermakna, meski ia harus kehilangan istrinya. Sebab, orang yang dicintainya itu sudah tak bisa lagi kembali dalam kehidupannya.
Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari Vanoy? Banyak. Tetapi untuk pembicaraan kita kali ini, ada dua hal yang menarik untuk kita perbincangkan bersama.

Pertama,
Anugerah utama yang dapat kita berikan kepada anak untuk mengantarkan mereka menjadi manusia yang sempurna, bukanlah terletak pada uang dan kemampuan menyediakan fasilitas. Sudah banyak anak-anak yang hancur tanpa masa depan, meski orangtua lebih dari sekedar mampu memberikan segala fasilitas untuk kemajuan anak-anaknya. Sebaliknya, betapa banyak orang yang terekam dalam catatan emas sejarah, meski mereka dibesarkan dalam keadaan yang serba kekurangan dan bahkan mengenaskan secara ekonomi, akan tetapi mereka memperoleh kasih-sayang dan nilai-nilai yang mengokohkan jiwa.

Siapa pun kita dan betapa pun terbatasnya kemampuan keuangan kita, memiliki tanggung-jawab yang sama besarnya dalam mengantarkan anak-anak kita untuk mengerti betapa hidup ini berharga dan betapa ada tugas-tugas hidup yang harus ditunaikan. Andaikan kesempurnaan dalam melaksanakan tanggung-jawab sebagai orangtua terletak pada kemampuan menyediakan sarana, maka tanggung-jawab tiap-tiap orangtua di hadapan Allah Ta’ala akan berbeda-beda tiap orang. Tapi tidak. Kita kelak akan mempertanggungjawabkan perkara yang sama dengan tanggung-jawab yang sama pula, meski kita berbeda dalam kemampuan memenuhi keperluan anak. Lihatlah, bagaimana sejarah telah mengajarkan kepada kita betapa banyak anak-anak yang tercukupi kebutuhan fisiknya, harus terhempas karena tak mendapatkan pelabuhan jiwa di rumahnya. Sementara mereka yang dibesarkan dengan rasa lapar dan airmata, tumbuh menjadi manusia-manusia besar yang memberi warna emas pada lembaran sejarah.

Kernanya, pikiran kita jangan lagi menempatkan harta dan ketersediaan sarana sebagai pra-syarat untuk melahirkan generasi yang tangguh. Sekali kita berpikir demikian, maka kita telah mengecilkan karunia-karunia besar yang dilimpahkan oleh Allah kepada kita, antara lain berupa kekuatan jiwa untuk mengasuh anak-anak. Sehingga kita tidak berani melangkah untuk menempa kebesaran jiwa dan kehebatan pada anak-anak kita hanya karena kita merasa tak punya sarana yang dibutuhkan. Dan sesudahnya, nyali kita menjadi surut. Pikiran kita jadi ciut. Kita lupa bahwa seorang Imam Ahmad ibn Hanbal menjadi orang besar bukan karena adanya sarana penunjang berupa komputer; kita lalai bahwa seorang Imam Syafi’i menjadi pribadi cemerlang tanpa ada kesanggupan ekonomi yang memadai. Kita lupa karena lebih banyak mengingat harta untuk mencukupi kebutuhan anak-anak kita, sementara jiwa kita tidak kita olah untuk memberi kelembutan dan kegembiraan pada anak-anak kita.

Teringatlah saya akan perkataan Nabi. Suatu ketika Nabi Muhammad Saww. berkata, “Engkau tak mungkin dapat mencukupi kebutuhan semua orang dengan hartamu; karenanya, cukupilah mereka semua dengan wajahmu yang gembira dan watak yang baik.” (HR Al-Hakim dalam Mustadrak).
Wajah yang gembira dan watak yang baik tatkala bersama anak, akan melahirkan kemesraan antara orangtua dan anak. Kemesraan hubungan orangtua dan anak ini terutama dibutuhkan pada tahun pertama usia anak. Kemesraan ini bisa diperoleh anak manakala ibunya penuh kasih-sayang, penuh perhatian, dan responsif (bukan reaktif) terhadap kebutuhannya. Pada masa bayi, kebutuhan itu semuanya disampaikan dengan bahasa isyarat, apakah itu berbentuk tangis, perubahan ekspresi atau tangan yang meraih-raih.

Secara jangka panjang, anak-anak yang dibesarkan dengan kemesraan yang kokoh (secure attachment) akan lebih bebas bereksplorasi untuk memenuhi rasa ingin tahunya dalam kehidupan sehari-hari, lebih memiliki keberanian untuk mencoba hal-hal baru atau pun mengungkapkan gagasan, dapat menghadapi masalah dengan cara-cara yang baru, dan menjadi lebih nyaman serta mudah menyesuaikan diri terhadap orang-orang yang belum begitu akrab. Pada usia 2 tahun, anak yang memiliki kedekatan yang kuat (securely attached children) akan lebih entusias, persisten, mudah diajak kerja-sama, dan secara umum lebih efektif dibanding anak-anak yang kurang memiliki kedekatan perasaan dengan bapak ibunya. Demikian yang dapat saya catat dari Papalia & Olds.
Masih dari Papalia & Olds. Penulis buku Human Development ini menjelaskan, anak-anak usia 3 sampai 5 tahun yang memiliki kedekatan hubungan dengan orangtuanya terbukti lebih besar rasa ingin tahunya, lebih kompeten, dan dapat bergaul bersama teman sebaya dengan lebih baik serta mampu mengembangkan persahabatan yang lebih erat dibanding anak-anak yang kurang memiliki kemesraan dengan orangtuanya. Anak-anak yang hubungannya dengan orangtua sangat baik juga cenderung mampu menjalin hubungan yang baik dengan orang lain. Mereka lebih independen dan lebih jarang menggantungkan pada pertolongan guru untuk melakukan berbagai hal tatkala di TK.

Lalu apa yang terjadi jika anak tidak memiliki attachment yang baik? Ada beberapa akibat yang sangat mungkin terjadi. Anak-anak yang dibesarkan dengan kedekatan hubungan yang kacau, cenderung suka bermusuhan dengan anak-anak lain ketika ia berusia lima tahun, demikian Repacholi dkk (1993) menuturkan sebagaimana dikutip oleh Papalia & Olds. Secara ringkas, didapati bahwa anak-anak yang memiliki problem attachment (kedekatan dengan orangtua) cenderung memiliki problem-problem lain. Salah satu problem yang sering muncul pada anak yang kurang memiliki kedekatan dengan orangtua adalah kecenderungan anak untuk menghindar dari teman-teman sebaya atau orang-orang dewasa. Ia lebih suka menyendiri dan sulit diajak berkomunikasi oleh guru (adakah Anda menjumpai anak yang demikian?).

Anak-anak yang tidak memiliki kedekatan hubungan (lack of attachment) dengan orangtua atau orang dewasa lainnya, cenderung memiliki problem-problem psikis. Ada tiga problem yang biasa muncul.

Pertama, anak-anak yang tidak terpenuhi kebutuhan attachmentnya lebih mudah mengalami gangguan neurosis.

Kedua, ketiadaan attachment menjadikan anak tidak mampu berprestasi sesuai dengan kemampuannya (under-achievement). Akibatnya, sekalipun anak memiliki IQ sangat tinggi, ia sulit mencapai prestasi akademik yang bagus. Ini pada gilirannya dapat menyebabkan anak tidak memiliki sense of competence yang bagus. Sehingga sekalipun anak memiliki banyak sekali kelebihan, ia merasa minder, tidak berharga atau sekurang-kurangnya tidak yakin bahwa dirinya memiliki kemampuan-kemampuan yang sesungguhnya telah ada pada dirinya. Karena tidak memiliki sense of competence yang bagus, ia kurang dapat mengembangkan diri dan tidak berani memunculkan gagasan-gagasan cemerlang, meskipun semua keahlian yang dibutuhkan telah ada padanya.

Jika anak tidak memiliki sense of competence, maka apa gunanya Anda menggembleng kemampuan otaknya? Apa gunanya les-les yang Anda berikan? Apa gunanya sekolah menyelenggarakan program-program khusus untuk meningkatkan kemampuan siswanya jika mereka sendiri tidak merasa yakin dengan dirinya? Sungguh, menyemai kebahagiaan, perasaan positif dan tujuan hidup yang bermakna jauh lebih berguna dari semua upaya-upaya peningkatan kecerdasan. Ketika anak berada pada situasi emosi positif, maka kapasitas intelektualnya akan berkembang dengan lebih baik, sehingga insya-Allah ia akan lebih cerdas. Selain itu, rangsangan emosi positif juga akan menjadikan anak lebih mudah diajak melakukan hal-hal positif.

Ketiga, anak-anak yang dibesarkan tanpa adanya attachment yang bagus dengan orangtua maupun orang dewasa lain yang dekat dengan kehidupannya, cenderung mengalami hambatan-hambatan emosi dalam mengembangkan dirinya maupun dalam menjalin hubungan sosial. Ia hidup tanpa perasaan yang nyaman dan mantap. Kecuali jika ia menemukan nilai-nilai yang menggetarkan dirinya (enlightenment), terutama ketika ia menginjak usia-usia kritis, baik pada masa peralihan dari kanak-kanak ke remaja maupun dari remaja ke masa dewasa awal.

Jika pemenuhan kebutuhan attachment dan penumbuhan emosi positif memang jauh lebih penting daripada segala bentuk peningkatan kecerdasan, maka apakah yang ingin Anda lakukan sekarang terhadap anak-anak Anda? Ketika Anda menginginkan anak-anak Anda sangat gandrung membaca, maka apakah yang Anda persiapkan? Apakah Anda berencana untuk meluangkan waktu menemani dia membaca sambil berguling-guling di lantai? Ataukah Anda akan belikan dia banyak buku, lalu Anda akan mengetes kemapuannya manakala dia telah membaca buku-buku tersebut.

Masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang perlu diajukan, disamping banyak juga contoh-contoh cemerlang yang dapat kita tengok dari Nabi kita dalam mendidik anak dengan emosi positif. Tetapi, maafkanlah, perbincangan dalam masalah ini kita sudahi dulu. Insya-Allah kita akan memperbincangkan lewat tulisan dengan lebih mendalam di lain kesempatan.
Sekarang, marilah kita kembali pada pembicaraan kita tentang pelajaran yang dapat kita ambil dari kisah Steven W. Vanoy.

Kedua,
Anak-anak yang bahagia dan cemerlang sulit lahir dalam keluarga yang kering komunikasinya, betapa pun mereka berlimpah dengan kesuksesan karier dan kekayaan. Kebahagiaan keluarga merupakan pra-syarat awal untuk melahirkan anak-anak yang bahagia dan mantap jiwanya.
Sementara, kecenderungan semenjak awal untuk melahirkan anak-anak yang baik memberi pengaruh besar terhadap kehangatan perkawinan. Pernikahan yang kokoh seringkali ditandai oleh adanya orientasi untuk melahirkan anak-anak yang baik dan bermakna.

Orientasi pra-nikah untuk kelak memiliki anak yang memberi arti pada kehidupan, menjadikan mereka lebih besar toleransinya terhadap kekecewaan dalam perkawinan dan lebih besar penerimaannya terhadap hal-hal positif dari pasangannya –sekalipun kecil—sehingga perkawinannya terasa lebih membahagiakan. Anda merasa bahagia dengan pasangan Anda. Padahal orang lain melihat betapa banyak kekurangan yang ada pada pasangan Anda. Dan kenyataan sesungguhnya memang demikian. Hanya saja, Anda lebih peka terhadap hal-hal positif yang ada pada dirinya daripada kekurangan-kekurangan yang ada, sekalipun banyak.

Wallahu A’lam bishawab.

http://www.usahamulia.net/index.php?pilih=lihat&id=20

Dipublikasikan pada: 25/3/2007 | 08 Rabbi al-Awwal 1428 H | Hits:
Email This Post Kirim ke teman | Print | Trackback | del.icio.us | Ke atas