Faktor-Faktor Makro yang Menyebabkan Anak Malas Belajar (1)


Email This Post

Bulan-bulan tertentu menjelang Ebtanas dan UMPTN, setiap tahun, adalah musimnya orangtua mengkonsultasikan anak-anaknya untuk tes bakat pada psikolog. Persoalan orangtua (belum tentu persoalan anak juga) adalah bahwa anaknya, walaupun sudah kelas 3 SMU, belum jelas mau memilih jurusan apa di perguruan tinggi. Karena takut bahwa anaknya gagal di tengah jalan, maka orangtua pun mengkonsultasikan anaknya kepada psikolog.

Sementara itu, dari pengamatan saya di ruang praktek, di pihak anaknya sendiri kurang nampak ada urgensi pada permasalahan yang sedang dihadapinya. Rata-rata anak memang ingin lulus UMPTN di Universitas-universitas favorit (UI, ITB), tetapi tidak terbayangkan betapa ketatnya persaingan yang harus dihadapinya1. Kalau tidak lulus UMPTN, pilihan untuk PTS (Perguruan Tinggi Swasta) masih banyak. Kalau tidak diterima di Trisakti atau Atmajaya, masih banyak PTS yang lain. Bagi yang orangtuanya mampu, kuliah di luar negeri2 bahkan lebih banyak lagi peluangnya.

Tidak adanya perasaan urgensi (kegawatan) lebih nampak lagi pada hampir-hampir tidak adanya persiapan yang serius. Kebanyakan anak tidak mempunyai kebiasaan belajar yang teratur, tidak mempunyai catatan pelajaran yang lengkap, tidak membuat PR, sering membolos (dari sekolah maupun dari les), seringkali lebih mengharapkan bocoran soal ulangan/ujian atau menyontek untuk mendapat nilai yang bagus.

Di sisi lain, cita-cita mereka (yang karena kurang baiknya hubungan anak-orangtua, sering dianggap tidak jelas) adalah sekolah bisnis (MBA). Dalam bayangan mereka, MBA berarti menjadi direktur atau manajer, kerja di kantor yang mentereng, memakai dasi atau blazer dan pergi-pulang kantor mengendarai mobil sendiri. Hampir-hampir tidak terbayangkan oleh mereka proses panjang yang harus dilakukan dari jenjang yang paling bawah untuk mencapai posisi manajer atau direktur tsb.

Sikap “jalan pintas” ini bukan hanya menyebabkan motivasi belajar yang sangat kurang, melainkan juga menyebabkan timbulnya gaya hidup yang mau banyak senang, tetapi sedikit usaha, untuk masa sepanjang hidup mereka. Dengan perkataan lain, anak-anak ini selamanya akan hidup di alam mimpi yang sangat rawan frustrasi dan akibat dari frustrasi ini bisa timbul banyak masalah lain3.

Catatan kaki

* Dibacakan pada seminar “Mengatasi Malas Belajar Pada anak”, diselenggarakan oleh POMDA FPsi UI, Jakarta 5 Mei 2001.

1 Hasil UMPTN UI tahun 2000 menunjukkan bahwa daya tampung program -program studi IPA = 5% (FK = 3,5%; Geografi 15%), sedangkan IPS hanya 1,5% (Hubungan Internasional = 0,8%; Psikologi = 3,5%; Sastra Inggris = 1,5%; Sastra Jawa = 16%).

2 Sebelum Krismon favorit adalah AS dan Inggris, sekarang Australia.

3 Perwujudan frustrasi bisa berbentuk agresivitas pada lingkungan (keluarga, atasan, system, pemerintah, bahkan lingkungan alam), agresivitas pada diri sendiri (depresi, menyalahkan diri sendiri, perasaan berdosa, bunuh diri) atau pelarian dari kenyataan (menganut fanatisme agama atau aliran golongan yang sempit atau narkoba).

Sumber: http://www.sarlito.net.ms/

http://www.halalguide.info/content/view/786/72/

Dipublikasikan pada: 10/4/2007 | 23 Rabbi al-Awwal 1428 H | Hits:
Email This Post Kirim ke teman | Print | Trackback | del.icio.us | Ke atas