Ayah Sekarang Enggak Pernah Marah …


Email This Post

Penulis : Adi Junjunan Mustafa

Berbinar mata mereka menyambutku turun dari DAMRI. Aku memang mulai
berdiri di dalam bis saat memasuki terminal kecil itu. Mataku yang
terus berputar-putar menumbuk lambaian tangan istri dan anak-anakku.
Ya Allah, inikah rasanya rindu yang terpuaskan? Betapa nikmatnya,
padahal ini hanyalah episode kecil berpisah dan bertemu di dunia …

Anak-anak satu per satu bersalaman dan mencium tanganku, lalu istriku
menghampiri. Ia pun bersalaman. Kuberikan kecup hangat di keningnya
sambil mengucapkan salam perlahan. Mata kami bertemu, kami saling
memberikan senyuman menghantarkan sejuta hangat yang bergejolak di
dada.

Sesaat kemudian aku lekas gendong si bungsu, Maryam, yang baru
berusia 2 tahun. Wajahnya masih belum menampakkan keakraban. Mungkin
Maryam masih terus terheran-heran kenapa seorang yang
dipanggil “ayah” ini datangnya begitu jarang. Pada liburan pertama
dulu aku butuh waktu sepekan untuk bisa mendapatkan sapaan “ayah”
dengan alami dari Maryam. Sungguh masa-masa berat sewaktu mendapatkan
tatapan mata asing dari si bungsu ini. Bahkan ketika menjelang tidur,
saat ia menyusu pada istriku, berkali-kali ia bangun terjaga dan
menatap ke arahku yang tidur di belakang istri.

Setelah menggendong Maryam, aku alihkan pandangan ke Ita, kakak
Maryam. Aku pun sempatkan gendong Ita dan menciumnya. Ia masih mungil
juga, sebagaimana rata-rata anak usia lima tahunan yang lain. Istri
sering bercerita di messenger, bahwa Ita lah yang paling kehilangan
aku. Ia sering menanyakan kenapa ayah mesti sekolah jauh-jauh. Aku
tatap dengan penuh kelembutan anak ketigaku ini.

“Apa kabar, Ita sayang …?”
“Baik, Ayah ….” Pada matanya ada nampak percampuran perasaan.
Senang,
bingung dan … ngantuk.
“Ita abis bobo ya …?” tanyaku. Yang ditanya hanya mesem-mesem.
“Iya `Yah, tadi kan Ita udah ketiduran di kursi belakang?” celetuk
Siddiq, jagoanku satu-satunya, yang baru naik kelas dua SD.

Aku lekas menengok jam tanganku lalu tersenyum. Pantas Ita udah
ketiduran, karena sekarang sudah lewat dari jam sepuluh malam.

“Hey … Siddiq, Teteh … apa kabar?” Aku membungkuk dan mengecup pipi-
pipi mereka berdua.
“Baik …,” jawab mereka serempak. Mereka nampak begitu bahagia.
“Oke … yuk kita ke mobil,” kataku sambil menarik barang-barang
bawaan.
“Ayah bawa oleh-oleh enggak?” Teteh sepertinya sudah tidak sabar.
“Iya donk … sekoper tuh, isinya oleh-oleh semua …,” jawabku.
“Asyiiiiiik …!” Seperti koor anak-anak nampak riang mendapat jawaban
dariku. Aku dan istri ikut tertawa bahagia.
“Siapa yang bawa mobil …?” tanya istriku, ketika kami mendekati
mobil.
“Aa aja yah …,” jawabku.
“Enggak cape …?”
“Dikit sih … tapi malem kan ada yang mijitin ….” Istriku mencubitku
dan tersenyum mendengar jawabanku lalu memberikan kunci mobilnya.

Ini adalah liburan keduaku ke Indonesia. Sama seperti liburan lima
bulan lalu, aku minta istriku menjemput di Baranang Siang saja,
meskipun istri menawarkan menjemput ke bandara. Aku pikir layanan
transportasi DAMRI dari airport ke Bogor ini sudah sangat nyaman.
Lagi pula aku pun tidak ingin membuat istri kerepotan mesti
menjeputku jauh-jauh.

***

Mengantarkan anak-anak ke sekolah menjadi pengalaman yang luar biasa
menyenangkan. Selama liburan, istriku -”ibu supir”- praktis bisa
istirahat dari tugas rutinnya. Ada beberapa anak tetangga yang juga
ikut pergi ke sekolah setiap pagi.

Melihat anak-anak berbaris di sekolah, memeriksa mereka belajar di
kelasnya juga merupakan pengalaman yang amat menyenangkan. Aku tidak
mau kehilangan setiap momen yang dialami anak-anak. Bibirku terus
tersenyum. Tak henti-hentinya hatiku berbisik, “Ya Allah, terima
kasih … Engkau berikan kebahagiaan tiada tara dengan pertemuan dengan
anak-anak ini …” Istriku seperti membaca rasa suka citaku. Dia tidak
berkata apapun. Hanya genggaman tangannya pada tanganku sesekali
dieratkan.

Para guru di sekolah sangat memahami kelakuanku yang mungkin agak
berlebihan. Masa-masa liburan yang pendek, seolah mendorongku untuk
memberikan perhatian dua puluh satu kali lebih hebat dibandingkan
para orang tua yang biasa bertemu anak-anak setiap hari. Pernah satu
hari aku membawa kamera ke sekolah. Beberapa menit sebelum bel masuk,
aku dan istriku masuk ke kelas anak-anak kami yang SD satu per satu.
Kemudian aku ajak anak-anak dengan teman-teman kelasnya untuk berfoto
bersama. Suasana jadi heboh. Suasana kelas Siddiq atau Zahra, yang
kelas empat, sama saja. Mereka nampak menikmati juga prosesi berfoto
ini. Ibu wali kelas yang sudah hadir di kelas hanya tersenyum-senyum
dan bersedia juga waktu kuminta ikutan difoto bersama murid-murid
kelasnya.

Meskipun anak-anak diantar ke rumah di sore hari, sesekali aku
menjemput sendiri mereka. Aku memang tidak bisa melupakan kenikmatan
yang lain kalau menjemput Zahra. Karena dia sudah kelas empat, maka
pulangnya setelah sholat ashar dan aku selalu ikut sholat berjamaah
bersama anak-anak. Suasana menjelang sholat juga lumayan heboh, tapi
Bapak-bapak guru amat terampil membuat anak-anak bersiap rapi dan
meredakan kegaduhan menjelang sholat. Selesai sholat, seorang siswa
kelas lima atau kelas enam memimpin doa bersama. Doanya panjang dan
lafaz-lafaz bahasa Arab diucapkan dengan fasih. Dalam hati aku
bersyukur, menyaksikan generasi muda yang sholih seperti ini, membuat
orang tua sepertiku menyimpan rasa optimis untuk kebaikan masa depan
negeri.

***

Di Bogor Indah Plaza …[anak-anakku lebih sering menyebut “Jogja”]

“Ayah, sini dech …” Aku yang sedang menuntun Maryam menoleh ke arah
Ita yang nampak berjalan agak cepat menuju pintu masuk utama Jogja.
“Ada apa sayang?”
“Sini dech …,” Ita tidak menjawab dan hanya terus mendesakku untuk
datang.

Aku segera menghampiri.

“Ayah, Ita pengen es ini ….” Dia menunjuk gerobak es yang berada di
salah satu sisi pintu masuk.
“Boleh …” Aku menyuruh Ita memilih es-nya. Dia memilih jenis coklat.
“Maryam mau?” tanyaku.
“Udah, Ayah … nanti bareng Ita aja …” Ita malah memberikan jawaban
padaku. Aku lihat Maryam setuju dengan tawaran kakaknya.

Saat menuju rumah, lewat kaca spion dalam mobil aku lihat Ita dan
Maryam asyik meminum es dengan dua sedotan besar.

“Kok, sedotannya besar, `Ta?” tanyaku.
“Iya, kan ada kayak cendol-cendolnya besar-besar …,” Ita
menjawab. “Ayah mau coba?”
“Boleh … sini.” Aku menyedot sedikit. Memang benar ada seperti cendol
yang agak kenyal yang tersedot …
“Enak enggak, `Yah?”
“Enak ….” Aku tersenyum.”Ayo abisin ya …” Lalu aku lihat mereka
berdua menikmati lagi es-nya.

Sampai di rumah istriku melihat mulut Ita dan Maryam agak cemong dan
menyuruh mereka cuci muka.

“Mereka abis makan apa sih, A?” tanya istriku.
“Itu … es apa sih yang dijual di pintu masuk Jogja ….”
“Ooo, es itu!”
“Kenapa sih … emang ada yang aneh?” Istriku tersenyum.
“Tahu enggak, A. Ita kan pernah beberapa kali minta es itu sama Lia,
tapi enggak dikasih …,” kata istriku ketika anak-anak sudah ke
kamar mandi.
“O ya? Terus gimana donk, tadi Aa kasih.”
“Enggak apa-apa sih. Waktu itu memang dia agak batuk …Terus di waktu
yang lain, memang dia kebanyakan makan es. Yang pasti dia setelah itu
enggak pernah minta lagi.”
“Gitu ya ….”
“Iya … lagian kelihatannya Ita betul-betul menikmati jalan-jalan sama
Aa. Pinter juga dia ngambil kesempatan minta sesuatu yang enggak
pernah dikasih Ibu-nya …”

Aku tersenyum. Bisa jadi aku memang begitu lunak terhadap permintaan
anak-anak. Masa-masa liburan yang singkat di alam bawah sadar membuat
aku ingin mencurahkan semua kasih sayang. Kami berenang bersama, lari
pagi bareng-bareng … jajan baso, mie kuah, mpek-mpek Palembang …

Ita dan Maryam kembali dari kamar mandi. Muka mereka masih agak basah.
“Ita … gimana es nya enak?” Istriku bertanya sambil agak tertawa.
Yang ditanya nampak agak sedikit kaget.
“Hmmm …”
“Ibu enggak marah kok … Enak enggak?” Istriku membaca kalau Ita
mungkin khawatir dan takut salah sudah makan es yang tidak pernah
diberi istriku.
“Enak sih … hmm. Ya Maryam … enak, kan?” Maryam mengangguk.
“Kok mintanya sama Ayah, sayang?” Istriku memancing.
“Iya … abis Ayah sekarang kan lain …”

Aku yang sedari tadi tidak terlalu acuh dengan obrolan Ita dan
istriku, seketika menghentikan membaca koran.

“Ita sayang … Ayah lain gimana?” tanyaku yang tertarik dengan
ungkapan gadis TK-ku ini.
“Hmmm, Ayah kan pasti ngasih …” Aku tertawa. Istriku juga.
“Hm, terus apa lagi coba yang beda pada Ayah?” Aku terus ingin tahu
bagaimana kesan Ita ini, karena teringat istriku pernah mengatakan
tentang rasa kehilangannya yang besar terhadapku.
“Ayah kan sekarang enggak pernah marah …!”

Masya Allah. Aku terpana mendengar ucapan Ita. Satu lagi hal tentang
diriku yang ternyata berubah. Keterpisahan dan kerinduan barangkali
membuat aku lebih mudah mencintai dan memaafkan. Keterpisahan membuat
hatiku semakin lunak. Jauhnya aku dari keluarga memudahkan aku
mennyingkap berjuta keindahan yang di waktu lalu menjadi sesuatu yang
biasa-biasa saja.

Malam itu aku pandangi anak-anakku yang sedang tidur satu per satu.
Menetes air mataku seraya berdoa,”Ya Allah, jadikan aku ayah yang baik.
Jadikan anak-anakku sholih dan sholihah …”

Menjelang tidur aku masih penasaran dan berbisik pada istriku,”Li …
betulkah Aa sekarang enggak pernah marah?”
“Iya sih ….”
“Kalau gitu … dulu bagaimana …?”
“Sttt … Sudahlah A … people changes. Yang pasti `aku makin cinta’ …”
“I love you too, so much.”

Chiba, 4 September 2005,
Adi JM.
`… dan mereka yang dapat menahan marah dan mereka yang pemaaf kepada
manusia. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan.’

http://flpjepang.com/?p=102

Dipublikasikan pada: 26/3/2007 | 09 Rabbi al-Awwal 1428 H | Hits:
Email This Post Kirim ke teman | Print | Trackback | del.icio.us | Ke atas