Sound of a mother


Email This Post

I go to the hills when my heart is lonely
I know I will hear what I’ve heard before
My heart will be blessed with the sound of music
And I’ll sing once more

Maria: “I can’t seem to stop singing whatever I am! And whats worse, I can’t seem to stop saying things-anything and everything I think and feel!

“Sound of music”, aku suka film ini. Mengingatkanku ketika kegelisahan itu muncul dalam benakku. Kegelisahan yang sama dengan Maria ketika dia merasa berbeda dari teman-temannya di biara, ketika dia selalu ingin bernyanyi, dan tak bisa berhenti berbicara. Suatu hal yang tabu dilakukan oleh seorang wanita calon biarawati.
Kegelisahan yang sama?…ya kegelisahan yang membuat aku merasa berbeda dari para ibu pada umumnya. Aku sangat-sangat bersyukur ketika Allah memberiku bayi mungil yang terlahir dari rahimku. Aku nikmati peran sebagai ibu dengan segala rasa syukur yang ada. Sempat terbersit dalam batin untuk tidak saja cuti kerja tapi juga berhenti. Namun, hari demi hari, minggu demi minggu dan bulan demi bulan kulalui, semuanya menjadi berbeda. Kenapa aku merasa bosan, kenapa aku merasa jenuh, kenapa aku menjadi sensitif, kenapa aku jadi marah-marah melulu. Semua rutinitas ini seperti membuatku ‘mati’. Aku rindu bertemu pasienku, aku rindu mendengarkan seminar kedokteran, aku rindu kawan-kawanku. Aku rindu semua…kerinduan yang dalam untuk selalu berpikir dan bertemu dengan sesuatu yang baru.

Mengapa perasaan ini muncul dan terus menderaku ya Allah, salahkah aku? Bukan istri yang sholeh kah aku? Ibu yang jahat kah aku sehingga tidak bisa menikmati peran yang baru saja kujalani beberapa bulan? Wanita lain bisa menikmati peran ini kenapa aku tidak? Apakah aku wanita yang terlahir dengan abnormalitas tinggi sehingga aku merasakan semua ini? Lantas, kenapa pula Kau biarkan aku diterima di Fakultas Kedokteran? Kenapa Kau luluskan semua keinginanku untuk selalu mengikuti kegiatan ini dan itu. Ketika kawan-kawanku sibuk belajar di rumah, aku malah sibuk bolak-balik Jakarta-Bandung mencari dana, bersama teman-teman seperjuangan menculik mobil bapakku dan membawanya ke Jakarta tanpa ijin. Saat pihak Fakultas tak mengijinkan pergi liburan dengan bis Fakultas sewaktu semua peserta sudah kadung menunggu, aku dan teman-teman nekat pergi . Lagi-lagi ‘menculik’ beberapa mobil dan tak satupun mobil dikendarai pria, hanya untuk sekedar menikmati pangandaran bersama teman-teman. Banyak orang geleng-geleng kepala, tapi kami selalu bilang inilah yang namanya hidup, seru, penuh warna, penuh tantangan dan penuh kejutan.

Nyatanya lagi, semua itu sangat membantu ketika aku menjalani profesiku. Aku bertemu dengan banyak orang, banyak karakter, mengambil keputusan ketika bayi dihadapanku sudah membiru dan bernafas satu-satu, harus mengkhitan seorang anak yang penisnya terjepit resleting tanpa ada siapapun yang membantuku. Hm..semuanya kadang membuat adrenalin meningkat, but… I love it and enjoy it.

Aku tidak pernah meminta semua ini Tuhan. Salahkah aku ketika semua perasaan itu menghantuiku, abnormalkah aku Tuhan? Aku cinta keluargaku, aku cinta suami dan anak-anakku, aku syukuri semuanya. Bayi mungil ini amanahMu ya Allah, aku tidak mau menyia-nyiakannya. Tapi mengapa ??? Hmmh….jangan-jangan…aku memang betul-betul abnormal. Kalau begitu aku harus berubah, aku harus menghilangkan semua perasaan itu. Ya…aku harus berubah!.

Lalu, aku pergi ke toko buku, aku ikuti semua seminar tentang pengasuhan anak yang terbaru, dan aku coba untuk menerapkannya pada anakku. Semua berkata sama, bersyukurlah telah menjadi ibu yang bisa menemani masa golden periode anak. Bersyukurlah dan bersyukur itu lah yang aku coba lakukan. Namun mengapa perasaan rindu itu tak kunjung hilang Tuhan, perasaan itu datang dan pergi bersama warna-warninya kehidupan. Aku ingin melenyapkannya Tuhan! kenapa aku tak bisa???

Aku percaya, tidak ada sesuatupun yang terjadi karena kebetulan di dunia ini. Aku kembali mencari, dan Allah yang Maha Baik memberikan aku sebuah jawaban. Ternyata aku bukan wanita yang abnormal, ternyata bukan hanya aku yang gelisah, ternyata… aku tidak sendirian.. Aku bertemu dengan buku itu, buku ‘Ketika Ibu Harus Memilih’ milik Susan Chira. Dia berkata dalam bukunya “Selama bertahun-tahun saya mengira hanya bisa memilih salah satu : pekerjaan atau anak-anak. Dan saya membiarkan kekhawatiran yang muncul itu menekan hasrat saya untuk menjadi seorang ibu. Kemanapun saya menengok, dan apapun yang saya baca dan hampir semua orang yang saya ajak bicara mengatakan bahwa saya menginginkan sesuatu yang mustahil-yakni bekerja dengan baik sekaligus menjadi seorang ibu yang baik. Saya terus berusaha mengabaikan suara hati saya hampir sepanjang hidup…”

Backcover buku itu berbicara, ‘Anda tak perlu heran jika kegelisahan Susan Chira tersebut juga menjadi kegelisahan anda. Para ibu masa kini memang seolah serba salah. Masyarakat cenderung menyepelekan ibu yang tinggal di rumah, namun disisi lain juga menuduh para ibu bekerja telah menelantarkan anak-anak mereka. Dalam buku ini, wartawan senior New York Times, Susan Chira, menyajikan berbagai fakta dan hasil penelitian yang membuatnya mampu mengikis kegelisahan itu, membuat perspektif baru yang menjawab kebimbangan para ibu: bahwa bekerja atau tidak, seorang ibu tetap bisa menjadi ibu yang baik ketika kebahagiaan dan kepuasan batinnya sendiri tak terabaikan.’

Eureka! Begitu rasanya ketika membaca buku ini, seperti mendapatkan pembenaran untuk bisa melenggang kangkung pergi bekerja. Namun ternyata teman-teman yang kontra malah berkata sebaliknya, ‘Dia itu feminis Nes, bukan muslim, kenapa kamu begitu saja percaya dengan penelitiannya’. Hmh..lagi-lagi kepala ini dibuat pusing tujuh keliling. Hanya doa yang aku bisa panjatkan ya Allah semoga Engkau memberi jawaban. Beberapa buku aku cari lagi, entah mengapa semua buku yang aku temui bersuara sama, seorang ibu harus bahagia, tidak merasa bersalah atau menyesal, dan tidak mengabaikan kepuasan batinnya agar bisa mendidik serta membesarkan anak-anaknya dengan baik, itu kata kuncinya.

Perenungan yang dalam, tidak ingin kehilangan masa emas anakku yang tak kan terulang, membuat aku memutuskan untuk tidak PTT, tetapi tetap bekerja pagi-sore di klinik dekat rumah , dan sempat juga di sebuah rumah sakit. Semua membuatku puas, anak-anakku tidak terlantar, dan batinku terpuaskan. Sampai akhirnya suamiku membawa berita bahwa dia akan mengajakku ke negeri Belanda.

Wow senang dan bangga tentu saja, bisa melihat dunia lain yang diimpikan oleh banyak wanita di negeriku. Tetapi aku kembali dihadapkan pada sebuah kegelisahan, siapkah aku meninggalkan pekerjaanku dan semua milikku yang aku cintai di tanah airku? Beranikah aku mengambil sebuah keputusan untuk lebih memilih keluarga ketimbang karir, kepuasan batin, dan keinginan untuk melanjutkan sekolah yang selalu mengembara dalam kepalaku? Diskusi panjang dan perenungan yang dalam kembali aku lakukan, sambil berdoa kepada Tuhan semoga aku diberi jalan terang untuk memilih.

Sekian lama berpisah dengan suamiku akibat rumitnya urusan visa merupakan jawaban Tuhan. Ternyata apapun yang terjadi tidak ada yang dapat memisahkan kami. Janji hidup bersama didepanNya, dan pemberian amanah dua bocah mungil yang masih dalam periode emas ini menjadi alasan yang tak terbantah bagiku untuk tetap pergi kemanapun suamiku pergi. “Rumahku adalah dimana suamiku berada “. Itulah jawaban yang diberikan Tuhan dari segala penderitaan yang muncul ketika aku harus berpisah dengan suamiku. Inilah jalan yang telah diberikan Allah padaku.

Aku akan menjadi seorang ibu rumah tangga penuh di negeri orang, of course tanpa pembantu, dan aku akan meninggalkan pekerjaanku. Itu adalah keputusan yang telah aku ambil, aku harus ikhlas, aku harus bersyukur, dan aku harus siap menanggung semua akibat dari pilihanku. Kuncinya adalah aku harus bahagia, tidak merasa menyesal, dan tidak mengabaikan kepuasan bathinku. Tapi…mungkinkah itu terjadi bila aku sama sekali tidak melakukan pekerjaan lain selain mengurus rumah dan keluarga?. Kembali jalan terang itu datang. Tiba-tiba saja aku ingin belajar menulis, dan menulislah aku. Tiba-tiba lagi tulisan pertamaku langsung dimuat di koran PR, bahagia tentu. Aku seperti mendapatkan petunjuk inilah cara yang dapat membuatku tidak ‘mati’, dan tetap aktual.

Betulkah aku sudah siap? Oke, aku coba bertanya kepada sahabatku yang juga bernasib sama, yang satu di Jepang, satulagi di Inggris. Ternyata mereka menjawab sama..’tidak mudah Nes walaupun akhirnya bisa…’ Aku cuma bisa bertanya dan bergumam dalam hati ‘Masa sih, kan asik tinggal di negeri orang, apa susahnya, diikhlas-in aja dong, ini kan pekerjaan mulia, kenapa sih dibuat susah, dinikmati aja kenapa, mestinya bersyukur dong, oranglain pengen lho kaya kalian…’ dan mereka menjawab sama..’Ya coba aja deh Nes, nggak akan bisa ngerasain deh kalo nggak ngalamin sendiri…’

Oh God, kenapa mereka bilang begitu, pasti berat, apalagi dulu keduanya terkenal cerdas, yang di Inggris bahkan sudah mengeluarkan puluhan juta dan sempat ‘disiksa’ selama tahun pertama melanjutkan studi spesialis di bagian Anak. Kalau begitu aku musti siapkan mental, aku benar-benar harus bisa mengikhlaskan dan mensyukuri semuanya supaya tidak mengalami hal yang sama. ‘Aku pasti bisa, apalagi aku sudah membawa bekal menulis untuk tetap ‘hidup’, mereka pergi tanpa persiapan itu toh’, begitu pikirku.

Here I am now, in Groningen-Netherland-Europa, tempat yang membuat iri banyak orang. Seminggu, dua minggu, sebulan dan kini.. telah 3 bulan lamanya aku berada disini. Menyesalkah aku? Tidak bahagiakah aku, tidak bersyukurkah aku? Rasanya aku akan menjadi orang yang paling kufur nikmat bila aku melakukannya.

Berbelitnya urusan visa yang akhirnya tuntas, dan perpisahan mencekam yang tak lagi kami rasakan sungguh suatu anugrah buatku. Namun aku tidak bisa pungkiri bahwa yang dikatakan sahabat-sahabatku benar adanya. Berbicara syukur dan berbicara ikhlas menasehati sahabat-sahabatku dulu, untuk mau menerima dan menikmati perannya memang perkara mudah. Tetapi nyatanya, ketika merasakannya sendiri, aku baru benar-benar paham. Ternyata memang tidak mudah untuk menjalani proses ini walaupun aku sudah berusaha untuk menyiapkan diri. Tanpa bermaksud untuk berkeluh kesah atau meminta empati, dan bukan pula hendak menakut-nakuti, namun inilah kenyataan yang aku dan ‘sesamaku’ hadapi.

Tidak selamanya manusia berada diatas, warna-warni akan selalu muncul dalam kehidupan manusia, kadang gelap kadang terang. Mengapa semua menjadi tidak mudah? Karena dikala warna indah membangunkan hariku, aku betul-betul menikmati keberadaanku menjadi seorang ibu tanpa pembantu. Tetapi, dikala warna gelap menyelimuti diriku, semua kenangan manis tentang kepuasan batin itu menari-nari dikepalaku, menyesakkan dada dan memekikkan telinga.

‘Kenapa tidak kau usir saja mereka!’ begitu bisik hatiku, dan aku mencoba mengusirnya, mengeluarkan semua teori dari buku dan seminar yang pernah aku ikuti. Meneguhkan diri betapa mulianya tugas ini, betapa bersyukurnya aku, dan berbagai peneguhan positif lainnya. Berhasil kah aku? Hmm.. Aku hanya bisa berusaha. Semua rasa itu bukan milikku, aku tidak pernah meminta rasa itu datang, aku hanya wadah, yang cuma bisa mengembalikan semuanya kepada yang Maha Memiliki Rasa. Aku justru bersyukur ketika masih bisa menikmati rasa itu, karena begitulah hidup yang sebenarnya…hidup yang penuh warna. Apa jadinya bila hanya terang yang menyelimuti diriku, aku tak akan pernah jatuh dan tak akan pernah belajar. Toh memang hidup seperti inilah yang aku suka, penuh kejutan, tantangan dan selalu berwarna.

Belajar dan berproses memang tak kenal kata akhir. Kini, aku sedang belajar dan belajar lagi untuk menjadi ibu rumah tangga penuh yang tetap bisa menjaga kebahagiaan dan kepuasan batinku sendiri.‘Kenapa pula kau harus egois mementingkan kepuasan batinmu sendiri’ begitu bisik hatiku suatu hari. Suara hati lain menjawab, ‘Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri, aku hanya manusia, yang terlahir dengan segala masa lalu yang membuatku merasa ‘mati’ dikala aku tidak dapat memuaskan batinku. Tapi wanita lain tak pernah bicara tentang kepuasan batin, toh mereka bisa dan mereka tetap baik-baik saja, kenapa aku tidak?’ begitu bisik batinku lagi. Apakah aku salah? Apakah wanita lain itu salah?.

Hmh semua membuatku pening. Aku tidak tahu, namun satu hal yang aku yakini dan aku ingat selalu, guru spiritualku* pernah berkata “Tidak ada yang salah di dunia ini, semua telah berjalan sesuai dengan skenario-Nya. Perbedaan adalah rahmat, dunia tak akan tampak indah bila tak berwarna. Itulah kehidupan, manusia diciptakan dengan berbagai sifat, kondisi dan latar belakang yang berbeda sesuai dengan tugasnya masing-masing. Tinggal hendak bagaimana manusia menyikapinya dan menjalankannya, apakah ingin membuat semua menjadi satu warna, menjadi hitam-putih, menjadi benar-salah, atau tetap indah sesuai dengan kehendakNya. Be wise Nes…” begitu kata guruku…

Dengan segala rasa cinta yang ada, kupersembahkan tulisan ini untuk seorang suami yang telah sangat-sangat mengerti aku dan sangat mendukungku.

Ps: Buat mbak Diana, semua orang tentunya punya idealisme masing-masing. Untukku, aku hanya ingin mengemban amanah ini dengan memberikan segala yang terbaik yang aku bisa buat anak-anakku. Bukan untuk menyuruh mereka bersaing dan menjadikan mereka nomor satu, tetapi semata-mata untuk membuat mereka mengenal diri mereka sendiri dan menjadi diri sendiri. Ibu bukanlah tempat untuk bergantung, tetapi tempat yang akan membuat anak-anaknya tidak lagi bergantung. Dan sebuah anugrah buatku bila aku bisa mengantarkan anak-anakku hanya bergantung kepada Allah dan kepada diri mereka sendiri….

*Guru spiritual = pak kyai

http://cafe.degromiest.nl/node/108

Dipublikasikan pada: 30/3/2007 | 13 Rabbi al-Awwal 1428 H | Hits:
Email This Post Kirim ke teman | Print | Trackback | del.icio.us | Ke atas