Abi Eeeeek…!!!
Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar
Laa ilaahaillallah Allahu Akbar,
Allahu Akbar wa lillahil hamdu
Alhamdulillah…
Akhirnya Idul Fitri tiba juga. Hari yang dimaknai sebagai hari kemenangan serta dirayakan jutaan umat Islam di seluruh dunia. Entahlah, apakah saat itu menjadi pemenang atau pecundang, tetapi semua orang rasanya layak untuk merayakan. Termasuklah di antara umat Islam itu adalah saya dan tentu juga keluarga.
Sejak dari beberapa hari yang lalu, rumah juga telah banyak hiasan. Beberapa balon dan pita warna-warni turut mewarnai ruang keluarga. Tak ketinggalan, malam menjelang Hari Raya Eid, suara takbir dari program Winamp di komputer sudah terdengar hinggalah subuh pertama di bulan Syawal. Alunan takbir itu menembus relung hati, menciptakan kebahagiaan akan hari kemenangan. Tapi entahlah, adakah terselip pula rasa sedih karena telah berlalunya Ramadhan.
Sejak subuh itu saya sudah sibuk sekali. Aneh juga rasanya, karena hari-hari sebelumnya setelah sahur biasanya justru tidur lagi. Lalu memaksa anak yang masih tidur untuk pula segera mandi. Walau udara di musim gugur telah mulai dingin, tak menghalangi kami sekeluarga menuju hall di International House, Kyushu Institute of Technology. Sambil bersepeda, yang kadang
dikayuh atau didorong ketika menanjak, tak lupa mulut bersenandung takbir, memuji Sang Illahi.
Tiba di hall, kemudian bergabung dengan saudara-saudara lainnya seperti dari Malaysia, Bangladesh, India, Tunisia serta India. Sholat Eid pun segera dilaksanakan dengan imam dari Bangladesh. Agak berbeda pelaksanaannya, karena mereka bermadzhab Hanafi. Tapi itulah keindahan Islam, berbeda tentu saja tidak mengapa asalkan mempunyai dalil shohihnya.
Setelah sholat usai, kemudian dilanjutkan dengan khotbah saudara dari Malaysia.
Asyik…
Akhirnya tibalah saat yang dinantikan, pesta kecil-kecilan. Hanya inilah yang bisa diharapkan, karena pejabat kedutaan hanya mau mengadakan open house di kota-kota besar. Wuih, beragam makanan dan aneka minuman di atas meja tampak menggiurkan. Tentu
saja namanya juga terdengar aneh di telinga. Tapi bagi saya, itu tak penting. Ya kapan lagi bisa mencicipi makanan dari negara lain gratis begini. Tul nggak?
Begitulah, sesaat saja piring kertas dibagikan, mulailah operasi penyerbuan. Saya pun tak ragu dan malu mengajukan diri menjadi komandan, berada di posisi terdepan untuk memimpin pasukan. Setiap makanan di meja harus dicoba rasanya. Manis, asin, tawar
bahkan pedas semuanya campur aduk dimakan. Belum habis di piring atau baru lewat di tenggorokan, sudah cari lagi yang lain. Strateginya harus begitu, kalau nggak bakal kehabisan.
Waduh…
Nafsu yang dijaga selama sebulan penuh ketika berpuasa Ramadhan, seketika liar bagai hewan yang lepas dari kurungan. Bahkan saat itu pun sudah kembali berbuat dosa, rebutan makanan hingga kalau perlu pakai sikut-sikutan. Padahal baru saja tadi berjabat tangan dan saling meminta maaf. Ah tak apalah, bukankah ntar tahun depan bisa kembali memaafkan?
Karenanya tak heran, perut dan onderdil yang selama ini banyak beristirahat kembali dipaksa bekerja keras.
Istri yang melihat tingkah laku suaminya hanya mengingatkan, tetapi bagi saya itu lebih bernada ancaman.
“Hati-hati Bang, makan jangan asal nelan. Ntar sakit perut baru tahu rasa!”
“Ih tenang aja. Kapan lagi bisa makan kayak gini?” jawab saya cepat. Ah, kadang yang namanya istri itu mesti cerewet ya?
Akhirnya, acara pun selesai juga. Karena tadi sebagai komandan pasukan, tentu ikut serta berkemas-kemas walau sekadarnya. Padahal maksud di hati sebenarnya adalah mengemaskan makanan yang ternyata masih tersisa. Sepertinya, begitulah strategi seorang komandan atau pimpinan. Setiap ada kesempatan yang menguntungkan jangan pernah diabaikan. Istri pun kembali geleng-geleng kepala melihat suaminya. Tapi saya punya alasan, tentu saja.
“Idih, kan sayang kalo dibuang. Allah marah lho kalo suka mubazir makanan!”
Alasan yang benar kan?
Setelah selesai, saya dan keluarga kemudian bergegas pulang. Tak melalui jalan lain seperti sunnah Rasulullah, tetapi jalan yang sama seperti tadi ketika datang. Lagipula saya ingin segera tiba di rumah dan inilah jalan yang terdekat. Berharap pula bisa melanjutkan kembali acara makan-makan. Rasanya masih ada makanan yang belum dicoba, tapi syukurlah tadi sempat diamankan.
Tak lama tibalah di rumah. Hanya sebentar beristirahat, lalu ke segera kembali bangkit untuk mengambil piring dan makanan. Kepada anak yang ingin mengajak bermain, saya katakan,
“Sama Ummi dulu dong! Tadi Abi makannya baru dikit nih. Ntar aja mainnya habis makan ya.”
Akhirnya istrilah yang menemankan. Tapi dasar sifat anak, mungkin karena kepingin banget main dengan Abinya yang memang jarang di rumah dan lagipula hari ini adalah hari lebaran, sebentar saja lalu terdengar tangis serta jeritannya,
“Abiiiiiiiiiii….!!!” teriaknya dari ruang keluarga.
Istri pun ikut-ikutan berteriak,
“Di dapur kok lama amat. Ngapain aja seeeh?”
Dari toilet yang letaknya tak jauh dari dapur, saya balas nyaring teriakan mereka,
“Abi lagi eek neeeh…!!!”
-Abu Aufa-
http://abuaufa.multiply.com/
http://www.abuaufa.net/
http://abuaufa.multiply.com/journal/item/15