Harmonisasi Peran Keluarga


Email This Post

Keluarga haruslah diproyeksikan sebagai embrio mikro umat yang cukup tangguh dalam membentengi virus yang dapat mengikis komitmen dalam ber-Islam. (Q.S. Al-Furqon: 74). Salah satu tonggaknya adalah kesadaran peran suami-istri. Apabila jumlah keluarga yang komit ber-Islam banyak, akan jadi suatu kekuatan umat secara makro.

Dalam kehidupan berumah tangga, cobaan demi cobaan akan dihadapi. “Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya diantara pasangan-pasanganmu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka. Dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni mereka, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan bagimu. Di sisi Allahlah pahala yang besar” (Q.S. Al-Anfal: 28).

Sungguh ironis bila masing-masing individu tidak tahu ke mana rumah tangga akan dibawa. Bila itu terjadi, tidak akan ada saling berbagi peran, tidak juga akan saling menguatkan, sehingga akhirnya akan tumbuh rasa bosan karena karena tidak dapat menemukan esensi rumah tangga yang dijalaninya. Memprihatinkan memang, banyak kelurga muslim kehilangan fokus hidup, sibuk dengan gemerlap dunia, menonjolkan sikap egois, hidup permissif (serba boleh), menghalalkan segala cara., dll, sehingga keutuhan keluarga terombang-ambing untuk akhirnya karam. Padahal, waktu adalah saat keemasan untuk mengukir proses, prestasi, dan perbaikan diri.

Arti Keluarga
Merujuk beberapa keterangan dalam Al Quran dan hadis, nikah atau membentuk keluarga merupakan salah satu seruan-Nya “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian memiliki kemampuan, maka menikahlah. Sebab pernikahan itu lebih menyelamatkan mata dan melindungi kemaluan. Barangsiapa yang tidak memiliki kemampuan maka hendaklah ia shaum, sebab shaum itu dapat meredakan gejolak syahwat.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Berkeluarga adalah sarana legal bersatunya dua insan lawan jenis yang asalnya bukan muhrim, saling bereksplorasi satu sama lain secara lahir dan batin, untuk selanjutnya mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah (Q.S. Ar-Rum: 21).

Romantika sakinah dalam bentuk lain dialami rumah tangga nabi Nuh a.s., Asiah, dan nabi Ayyub a.s.. Sakinahnya mereka adalah menemukan cinta Allah swt. karena diuji oleh ketidaktaatan pasangan pada aturan-Nya. Mereka tetap dapat mengingatkan, mengasihi, memaafkan, dan mendoakan pasangan. Di dunia mereka bersatu tapi di akhirat terpisah. Masing-masing mendapat balasan sesuai dengan apa yang diamalkannya.
Selanjutnya, Komposisi keluarga dibangun oleh tiga kekuatan inti, ayah (suami), ibu (istri), dan anak. Masing-masing mereka memiliki peran. Dari peran-peran itulah tercipta harmonisasi yang dapat memperkokoh pilar rumah tangga. Tentunya bila peran-peran tersebut termanage dengan baik.

Posisi Ayah (Suami)
“Dan kewajiban ayah memberi nafkah dan pakaian kepada para ibu dengan baik” (Q.S. 2 : 233).
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita. Oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (Q.S. 4: 34).
“Seorang laki-laki itu adalah pemimpin di dalam keluarganya dan ia bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya itu…” (H.R. Muttafaq ‘Alaih).

Pemenuhan kebutuhan nafkah keluarga berupa sandang, pangan, dan papan berada di pundak sang Ayah. Berapa pun yang dihasilkan sang ayah, menjadi kewajiban istri untuk memanagenya, Rasulullah bersabda kepada Hindun, istri Abi Sufyan: “Terimalah dari uang suamimu secukupnya untuk dirimu dan anak-anaku secara baik. ”

Apabila karena sesuatu hal suami membutuhkan bantuan istri dalam pemenuhan nafkah tadi, maka statusnya istri ikut mensedekahkan hartanya dan jadi ladang amal saleh istri sang istri. Tetapi itu tidak menjadikan alih peran, atau mengurangi derajat suami. Sebuah hadis mengatakan, andai diperbolehkan seorang manusia sujud kepada manusia lainnya, maka istri layak sujud pada suaminya. Alasan kelebihan satu derajat hanya dikarenakan suami diamanahi oleh Allah menjadi motor penggerak roda ekonomi keluarga.

Sang suami pun bertindak sebagai partner bagi istrinya dalam hal urusan rumah tangga lainnya, bahu membahu dengan istri. Kesibukan di luar rumah tidak dapat dijadikan alasan ketidakhadirannya dalam ritme rumah tangga. Ayah (suami) harus pro aktif ambil peran menjadi suami dan ayah, teman curhat sekeluarga, tempat berlabuhnya istri dan anak, pemenuhan akan cinta, kasih sayang, perhatian, ilmu, serta secara bersama-sama menjadi hamba Allah swt.

Posisi Ibu (Istri):
“Maka wanita-wanita salihah itu ialah yang taat kepada Allah, menjaga diri sewaktu suami tidak ada di rumah oleh karena Allah telah menjaga mereka.” (Q.S. 4:34)
“… dan wanita adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya…” (H.R. Muttafaq ‘Alaih).

Istri adalah partner bagi suami, menjadi istri adalah posisi terhormat, namun kehormatan itu akan tercoreng manakala istri tidak bisa menjaganya. Hendaknya kita takut pada Allah swt., sehingga dekat atau jauhnya pasangan tidak menjadikan peluang untuk mengkhianati satu sama lain.

Posisi sentral kepemimpinan ibu ada di dalam keluarga. Suami dan anak menjadi lahan amal saleh dan dakwah pertamanya. Seorang ibu merupakan guru informal terdekat bagi anak. Karenanya, ibu diharapkan memiiki komitmen agama yang kuat, memiliki wawasan ilmu pengetahuan secara global, serta siap menjadi teman yang baik dalam keluarga. Adapun aktualisasi diri di luar rumah merupakan ekspresi tanggung jawabnya dalam menuntut ilmu dan dakwah tanpa menelantarkan tugas pokok dalam keluarga. Wallahu ‘allam bishshawwab. (Bersambung)

(Sasa Esa Agustiana)

http://www.boemi-islam.com/node/223

Dipublikasikan pada: 25/3/2007 | 08 Rabbi al-Awwal 1428 H | Hits:
Email This Post Kirim ke teman | Print | Trackback | del.icio.us | Ke atas